Hari ini persis delapan tahun semburan lumpur Lapindo.
TABLOIDLUGAS.com | Sidoarjo - "Kami sudah delapan tahun menderita." Kalimat itu
diteriakkan satu dari sekitar 50 perwakilan warga korban lumpur Lapindo
di Sidoarjo, Jawa Timur, di kantor gubernur Jatim, Jl Gubernur Suryo,
pertengahan April lalu. Para perwakilan warga korban area peta terdampak
itu, menuntut pemerintah segera melaksanakan amar putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) terkait pelunasan ganti rugi.
"Kedatangan kami ini untuk meminta kepastian atas pembayaran ganti rugi, yang hingga saat ini belum terlunasi semuanya. Apalagi putusan MK sudah keluar. Nah kami menginginkan keputusan itu dari Pakde Karwo (Soekarwo), selaku gubernur," terang salah satu perwakilan warga, Sunarto.
Ya, hari ini persis delapan tahun semburan lumpur Lapindo. Di awal semburan terjadi lebih dari 100 ribu ton material mencuat ke permukaan. Luapan lumpur Lapindo di wilayah Porong itu mengakibatkan ribuan orang mengungsi dan kerugian ekonomi mencapai sekitar Rp 47,9 triliun.
Namun demikian, delapan tahun sesudahnya, tak semua persoalan selesai. Warga masih banyak yang belum mendapat kepastian ganti rugi. Upaya warga menemui Soekarwo itu dianggap sangat penting untuk mendorong pemerintah agar segera merealisasikan putusan MK.
"Sebab, tanpa upaya seperti ini, keputusan MK hanya akan menjadi secarik kertas tanpa guna. Sementara, sampai saat ini, nasib warga korban dalam peta terdampak masih terkatung-katung."
Sunarto berharap dapat ditemukan solusi atau langkah-langkah untuk menyelesaikan masalah. "Termasuk mendorong PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) selaku juru bayar Lapindo Brantas Inc agar segera merealisasikan keputusan MK itu," tegas dia.
Koordinator warga korban dalam peta terdampak, Yudho Wintoko mengatakan, penderitaan warga korban lumpur Lapindo Brantas harus diakhiri. Selama delapan tahun menderita itu, bukan waktu yang singkat.
"Sedangkan selama itu, dari data terakhir pembayaran ganti rugi, masih kurang sekitar Rp 780 miliar, yang terdiri dari 3 ribu berkas. 3 Ribu berkas itu menyangkut sekitar 3 ribu kepala keluarga," ujarnya.
Pada pertengahan Maret lalu, MK mengabulkan permohonan uji materi yang dilayangkan korban lumpur Lapindo di area peta terdampak. Uji materi itu mengenai Undang-Undang (UU) Nomor 15 tahun 2013, sebagai perubahan atas UU Nomor 19 tahun 2012, tentang APBN khususnya Pasal 9 ayat (1) huruf (a), tentang anggaran ganti rugi.
Dan karena undang-undang tersebut dianggap bertentangan dengan UUD 1945, pemerintah diminta turun tangan menjamin pembayaran, serta mendesak PT MLJ untuk segera melunasi ganti rugi kepada warga korban lumpur di area peta terdampak yang belum terlunasi.
Kini, delapan tahun setelah semburan lumpur Lapindo, korban masih menuntut haknya.
"Kedatangan kami ini untuk meminta kepastian atas pembayaran ganti rugi, yang hingga saat ini belum terlunasi semuanya. Apalagi putusan MK sudah keluar. Nah kami menginginkan keputusan itu dari Pakde Karwo (Soekarwo), selaku gubernur," terang salah satu perwakilan warga, Sunarto.
Ya, hari ini persis delapan tahun semburan lumpur Lapindo. Di awal semburan terjadi lebih dari 100 ribu ton material mencuat ke permukaan. Luapan lumpur Lapindo di wilayah Porong itu mengakibatkan ribuan orang mengungsi dan kerugian ekonomi mencapai sekitar Rp 47,9 triliun.
Namun demikian, delapan tahun sesudahnya, tak semua persoalan selesai. Warga masih banyak yang belum mendapat kepastian ganti rugi. Upaya warga menemui Soekarwo itu dianggap sangat penting untuk mendorong pemerintah agar segera merealisasikan putusan MK.
"Sebab, tanpa upaya seperti ini, keputusan MK hanya akan menjadi secarik kertas tanpa guna. Sementara, sampai saat ini, nasib warga korban dalam peta terdampak masih terkatung-katung."
Sunarto berharap dapat ditemukan solusi atau langkah-langkah untuk menyelesaikan masalah. "Termasuk mendorong PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) selaku juru bayar Lapindo Brantas Inc agar segera merealisasikan keputusan MK itu," tegas dia.
Koordinator warga korban dalam peta terdampak, Yudho Wintoko mengatakan, penderitaan warga korban lumpur Lapindo Brantas harus diakhiri. Selama delapan tahun menderita itu, bukan waktu yang singkat.
"Sedangkan selama itu, dari data terakhir pembayaran ganti rugi, masih kurang sekitar Rp 780 miliar, yang terdiri dari 3 ribu berkas. 3 Ribu berkas itu menyangkut sekitar 3 ribu kepala keluarga," ujarnya.
Pada pertengahan Maret lalu, MK mengabulkan permohonan uji materi yang dilayangkan korban lumpur Lapindo di area peta terdampak. Uji materi itu mengenai Undang-Undang (UU) Nomor 15 tahun 2013, sebagai perubahan atas UU Nomor 19 tahun 2012, tentang APBN khususnya Pasal 9 ayat (1) huruf (a), tentang anggaran ganti rugi.
Dan karena undang-undang tersebut dianggap bertentangan dengan UUD 1945, pemerintah diminta turun tangan menjamin pembayaran, serta mendesak PT MLJ untuk segera melunasi ganti rugi kepada warga korban lumpur di area peta terdampak yang belum terlunasi.
Kini, delapan tahun setelah semburan lumpur Lapindo, korban masih menuntut haknya.
Sumber: Merdeka.com
Tidak ada komentar