TABLOIDLUGAS.COM | Jakarta - Tim Prabowo-Hatta menilai surat edaran Komisi
Pemilihan Umum (KPU) pusat soal perintah pembukaan kotak suara oleh KPU
Kabupaten/Kota dan Provinsi dianggap sebagai pelanggaran.
Dalam surat edaran tersebut KPU beralasan keputusan untuk membuka kotak itu didasari atas keberatan saksi dari salah satu kandidat capres-cawapres.
"Saya kebetulan jadi saksi dan kami mengajukan keberatan-keberatan di beberapa provinsi karena memang ada rekomendasi. Tapi memang keberatan kami diabaikan oleh KPU buktinya rapat itu tetap jalan. kami tetap protes akhirnya kami menarik diri," ujar anggota tim pemenangan Prabowo-Hatta, Didi Supriyanto, di kantor DKPP, Jakarta Pusat, Jumat (1/8/2014).
Dia mengatakan, seharusnya jika memang KPU merasa ada kejanggalan dalam proses rekapitulasi di tingkat kabupaten/kota dan provinsi, proses rekapitulasi nasional tidak bisa dilaksanakan.
KPU harus memverifikasi dugaan-dugaan pelanggaran tersebut sebelum menetapkan hasil pilpres. "Anehnya setelah 22 Juli justru KPU memerintahkan jajarannya membuka kotak suara terkait protes kami, ini ganjil ketika prosesnya sudah selesai baru dibuka," imbuhnya.
Kejanggalan lain dari keputusan KPU yang memerintahkan jajarannya membuka kotak suara yakni dari penerbitan surat edaran perintah tersebut. Karena edaran itu dikeluarkan pada tanggal 25 Juli 2014 dimana sengketa Pilpres belum masuk dan diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
"Pada saat itu kami belum ajukan sengketa di MK, karena kami ajukan pada 25 Juli jam 20.00 WIB. Setelah keluar akta pendaftarannya itu barulah ada permohonan," terangnya.
Atas dasar tersebut, Prabowo-Hatta menilai terdapat pelanggaran dari surat edaran KPU yang menginstruksikan membuka kotak suara sebelum ada keputusan MK.
Prabowo-Hatta membawa permasalahan ini ke Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP).
"Nanti akan dikaji apakah itu kode etik atau pidana. Tapi kami melalangkah juga ke DKPP, kami juga akan melaporkan ke polisi karena ini kan disimpan kotak suara harusnya di tempat aman dan terjamin keamanannya dan akan dibuka pada waktunya," ungkapnya.
Didi menjelaskan jika KPU ingin membuka kotak suara harusnya menunggu perintah MK karena sengketa ini sudah ditangani MK.
"Sejak tanggal 22 Juli itu kewenangannya sudah beralih ke MK karena ini terkait bukti-bukti. Kalau sudah bukti-bukti ini kembali ke C1, nanti masing membongkar bukti, bukan membongkar kotak suara. Oleh karena itu yang dilakukan KPU pelanggaran peraturan perundang-undangan," ujarnya. [L/IC]
Dalam surat edaran tersebut KPU beralasan keputusan untuk membuka kotak itu didasari atas keberatan saksi dari salah satu kandidat capres-cawapres.
"Saya kebetulan jadi saksi dan kami mengajukan keberatan-keberatan di beberapa provinsi karena memang ada rekomendasi. Tapi memang keberatan kami diabaikan oleh KPU buktinya rapat itu tetap jalan. kami tetap protes akhirnya kami menarik diri," ujar anggota tim pemenangan Prabowo-Hatta, Didi Supriyanto, di kantor DKPP, Jakarta Pusat, Jumat (1/8/2014).
Dia mengatakan, seharusnya jika memang KPU merasa ada kejanggalan dalam proses rekapitulasi di tingkat kabupaten/kota dan provinsi, proses rekapitulasi nasional tidak bisa dilaksanakan.
KPU harus memverifikasi dugaan-dugaan pelanggaran tersebut sebelum menetapkan hasil pilpres. "Anehnya setelah 22 Juli justru KPU memerintahkan jajarannya membuka kotak suara terkait protes kami, ini ganjil ketika prosesnya sudah selesai baru dibuka," imbuhnya.
Kejanggalan lain dari keputusan KPU yang memerintahkan jajarannya membuka kotak suara yakni dari penerbitan surat edaran perintah tersebut. Karena edaran itu dikeluarkan pada tanggal 25 Juli 2014 dimana sengketa Pilpres belum masuk dan diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
"Pada saat itu kami belum ajukan sengketa di MK, karena kami ajukan pada 25 Juli jam 20.00 WIB. Setelah keluar akta pendaftarannya itu barulah ada permohonan," terangnya.
Atas dasar tersebut, Prabowo-Hatta menilai terdapat pelanggaran dari surat edaran KPU yang menginstruksikan membuka kotak suara sebelum ada keputusan MK.
Prabowo-Hatta membawa permasalahan ini ke Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP).
"Nanti akan dikaji apakah itu kode etik atau pidana. Tapi kami melalangkah juga ke DKPP, kami juga akan melaporkan ke polisi karena ini kan disimpan kotak suara harusnya di tempat aman dan terjamin keamanannya dan akan dibuka pada waktunya," ungkapnya.
Didi menjelaskan jika KPU ingin membuka kotak suara harusnya menunggu perintah MK karena sengketa ini sudah ditangani MK.
"Sejak tanggal 22 Juli itu kewenangannya sudah beralih ke MK karena ini terkait bukti-bukti. Kalau sudah bukti-bukti ini kembali ke C1, nanti masing membongkar bukti, bukan membongkar kotak suara. Oleh karena itu yang dilakukan KPU pelanggaran peraturan perundang-undangan," ujarnya. [L/IC]
Tidak ada komentar