Anda Debitur Bank DKI? Hati-hati Aset Agunan Dilelang Sepihak

LUGAS | Jakarta – Bank DKI dinilai melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap nasabahnya. Akibatnya, salah seorang direktur bank ini pun dilaporkan ke Polda Metro Jaya dengan sangkaan melakukan penggelapan atas barang tak bergerak.

Laporan ke Polda Metro Jaya itu tercatat pada Tanda Bukti Lapor Nomor TBL/5276/X/2016/PMJ/Dit.Reskrimum tanggal 29 Oktober 2016. Pelapornya adalah Dr. Cecep Suhardiman, SH, MH, selaku kuasa hukum dari perusahaan berinisial PT. TPSI, debitur Bank DKI.

Menurut Cecep, Farel Tua Silalahi sebagai Direktur Manajemen Risiko Bank DKI dan kawan-kawan melakukan penggelapan atas barang tak bergerak berupa tanah dan bangunan, yakni dengan melakukan penurunan nilai aset pada saat lelang yang dijadikan sebagai agunan kredit.

Awalnya, tahun 2014 PT. TPSI mendapat fasilitas kredit dari Bank DKI senilai Rp. 52.600.000.000 dengan jangka waktu kredit sampai 2019. Sebagai jaminan kredit adalah tanah dan bangunan bersertifikat SHGB No. 916 atas nama PT. TPSI.

Hingga Agustus 2016, sisa pokok kredit/outstanding Rp. 39.513.000.000. Karena terjadi ketersendatan pengembalian kredit, Bank DKI melakukan pelelangan atas jaminan tersebut dengan harga di bawah nilai appraisal. Padahal, PT. TPSI telah beritikad baik, yakni sudah mengajukan permohonan kepada Bank DKI untuk mendapatkan restrukturisasi atas fasilitas kredit tersebut. Permohonan ini diajukan karena PT. TPSI menyadari ada ketersendatan keuangan sehingga pembayaran cicilan kreditnya ke Bank DKI tidak lancar.

“PT. TPSI bukan bangkrut atau tidak mau melunasi tanggungan kreditnya, melainkan karena memang sedang ada masalah keuangan terkait dengan bisnis yang dijalankannya. Ada faktor eksternal yang membuat PT. TPSI menghadapi masalah keuangan, terkait dengan kondisi ekonomi secara global maupun nasional,” jelas kuasa hukum PT. TPSI, Dr. Cecep Suhardiman, SH., MH, dari Kantor Hukum Risna & Rekan, kemarin, di Jakarta.

Selain mengajukan permohonan restrukturisasi, PT. TPSI sebenarnya telah pula beritikad baik untuk melakukan pelunasan kredit sebesar Rp. 40.500.000.000. Dana sebesar itu untuk pembayaran pokok kredit Rp. 39.513.000.000 dan sebagian bunganya, Rp. 987.000.000. Tetapi, Bank DKI menolak pembayaran pelunasan tersebut dan tetap melakukan proses lelang aset PT. TPSI.

Bank DKI tetap mau melaksanakan proses lelang atas tanah dan bangunan milik PT. TPSI yang dijadikan agunan kreditnya. Merasa ada kesewenangan Bank DKI ini, PT. TPSI pun mengajukan upaya hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 19 Oktober 2016, dengan registrasi perkara No. 575/PDT.G/2016/PN.JKT,PST.

Menurut Cecep Suhardiman, dalam proses lelang itu Bank DKI secara sepihak dan tanpa dasar menurunkan harga limit lelang dari Rp. 70.609.900.000 (pada pengumuman lelang hari Jumat 26 Agustus 2016) menjadi Rp. 60.000.000.000 (pada pengumuman lelang hari Kamis 15 September 2016).

Harga limit Rp. 60.000.000.000 itu masih diturunkan lagi menjadi Rp. 55.000.000.000 pada pengumuman lelang hari Kamis 6 Oktober 2016 dan pada hari Jumat 21 Oktober 2016. “Penurunan harga limit ini merupakan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Bank DKI, tidak sesuai dengan prinsip dilakukannya lelang yaitu mencari pembeli dengan harga tertinggi,” kata Cecep.

Tanggal 31 Oktober 2016 dilakukan lagi lelang di KPKNL (Kantor Perbendaharaan Kekayaan Negara dan Lelang) Jakarta V, dengan limit lelang Rp. 55 miliar. Pada lelang ini, Bank DKI sendiri sebagai pemenang lelang dan mengambil alih aset tersebut.

Kasus seperti itu, menurut Cecep, tak hanya terjadi pada PT. TPSI. “Dalam sebuah pembicaraan dengan unsur pimpinan Bank DKI, kami mendapat simpulan bahwa debitur Bank DKI yang berakad kredit semasa dirut lama, semua dianggap bermasalah. Bank DKI memukul rata seperti itu, sampai ada istilah di kalangan debitur bahwa Bank DKI dengan sengaja melakukan genosida ekonomi terhadap para debitur lamanya,” lanjut Cecep. (*)


Red.
redaksilugas@gmail.com
telegram.me/tabloidlugas

Tidak ada komentar