LUGAS | Bekasi - Kawasan Jalan KH Noer Ali Jakasampurna Bekasi Barat, mendadak riuh dengan sengketa tanah, seiring pembangunan Tol Becakayu. Apa pasal?
Adalah Manumpak Sianturi, yang menguasai tanah garapan hasil alih garapan dari Jaelani Siagian & Sinaga Cs, kini merasa menjadi korban permainan jual beli tanah yang jadi obyek sengketa.
Kasus ini teregistrasi di PN Bekasi, Nomor Perkara Pidana No. 419/PID.B/2019/PN.BKS, dengan terdakwa Acam bin Mendung, yang diduga memegang girik palsu.
Acam bin Mendung (79 tahun) dalam kasus ini memegang dokumen yang diduga palsu, Girik C No. 997 Persil 69 atas namanya. Dalam kasus ini Acam melawan M. Zaelani Hamid serta DR. Manumpak Sianturi, S.H, M.H, M.M dan Hotmariani Saragih (PT. Anugerah Duta Sejati (ADS)/ Laurence M. Takke).
JPU telah menghadirkan saksi dalam sidang pada Senin (7/10) pekan ini, yakni pengacara senior Dr. Manumpak Sianturi, S.H, M.H, M.M., yang sebelumnya menguasai obyek sengketa sejak tahun 2000 dan membayar kewajiban atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga kemudian ia alihkelolakan ke PT. ADS / Laurence M. Takke dengan transaksi jual beli di depan notaris.
"Awalnya kondusif dan nggak ada permasalahan. Baru setelah ada pembangunan Becakayu, permasalahan mulai muncul, seperti adanya yang membawa girik mengaku tanah itu miliknya. Padahal tidak terdaftar di Kelurahan Jakasampurna," terang M Sianturi, Rabu (9/10/2019).
Manumpak Sianturi menyayangkan Badan Pertanahan Nasional (BPN), yang mana girik palsu bisa dimanfaatkan jadi landasan untuk memblokir surat BPN.
Sebagaimana keterangan pihak kelurahan Jakasampurna, selaku pemilik tanah garapan, Manumpak Sianturi sangat yakin bahwa persil D-26 memang tidak ada. Namun anehnya, itu digunakan oleh penasihat hukum Acam bin Mendung.
"Bahkan saya siap memberi hadiah sebesar sepuluh juta rupiah kepada siapapun yang bisa menjawab (membuktikan, red) jika persil itu ada," tantang Sianturi tegas.
Akibat pemblokiran surat BPN itu, Manumpak Sianturi merasa dirugikan secara materiil dan immateriil.
Secara materiil, pelunasan pembayaran tanah oleh pihak Laurence M. Takke, tertahan dan masih kurang Rp 1 Milyar lagi akibat status tanah dalam sengketa.
"Tanah saya sudah digarapkan pihak Laurence. Pokoknya saya janji kalau lunas pembayaran kekurangan tanah Rp1 miliar kita bagi-bagi," ujar Manumpak Sianturi di depan wartawan.
Dalam kesaksian Manumpak Sianturi pada sidang Senin lalu, ia mengatakan mendapatkan oper tanah garapan yang dibeli dari Nainggolan, Sudarsono, Emni Wati Purba dan Atmi.
Dalam persidangan, BMS Situmorang selaku penasihat hukum Acam bin Mendung, sempat mempertanyakan kebenaran apakah Manumpak Sianturi/ Hotmariani Saragih bersama PT ADS dan atau Laurence M. Takke menandatangani Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanggal 09 Februari 2018, di hadapan Effie Putri Adji, S.H, M.Kn., Notaris di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat, atas tanah garapan seluas 1.600 M2 seharga Rp. 7.000.000.000,- (tujuh milyar rupiah).
Manumpak Sianturi pun mengakui jika dirinya benar telah menandatangani akta PPJB tersebut di kantor Pt. ADS di Jakarta.
Namun, Manumpak Sianturi mengungkap fakta lain yang membuat dirinya merasa dirugikan, bahwasanya Laurence baru membayar Rp 6 miliar.
Adapun alasan Laurence lebih memilih membeli tanah garapan Manumpak Sianturi ketimbang ke Acam Bin Mendung, karena Surat Girik C No. 997 Persil 69 atas nama Acam Bin Mendung tidak tercatat di Kelurahan Jakasampurna, sehingga Acam dilaporkan ke Polda dengan pasal pemalsuan girik oleh Laurence.
Bagaimana kelanjutan kasus ini? Peran camat tentu saja menjadi penting guna pembuktian apakah persil yang jadi obyek sengketa memang ada sebagaimana girik yang dipegang Acam bin Mendung. Meski di tingkat kelurahan Jakasampurna dimana tanah obyek sengketa itu berada, girik tersebut nihil. (Agus W)
Tidak ada komentar