Diduga Libatkan Mafia Tanah dan Oknum Perum Perhutani, PT YMP Serobot Lahan Warga?


LUGAS
| Bogor
- Tragis, dimasa pemerintah sedang menggalakkan Program Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat akibat merebaknya virus Corona, oknum Perum Perhutani bekerja sama dengan PT Yafo Makmur Perkasa diduga mengambil kesempatan mengalihkan fungsi Tanah warga Pareang, Kecamatan Tanjungsari, Desa Sinar Rasa (Cariu) Bogor Jawa Barat demi kepentingan pribadi.

Nathaniel Tanaya (NT) yang akrab disapa Kiki, adalah juru bicara warga atas lahan yang dikuasai oleh PT. Yafo Makmur Perkasa (PT. YMP).

PT YMP  memegang Izin Usaha Pertambangan-Operasi Produksi(IUP-OP) seluas 50ha berlokasi di desa Sirnarasa kecamatan Tanjungsari Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat dan surat kontrak kerjasama Perum Perhutani seluas 5,6ha berlokasi di desa Selawangi dan Sukawangi kecamatan Tanjung Sari dan Sukamakmur Jonggol kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat.

Masalah mengemuka ketika lokasi perizinan dan kerjasama yang dipegang oleh PT. YMP merambah ke wilayah masyarakat yang sudah menduduki dan bercocok tanam di sana sejak tahun 2003. Perihal tersebut disampaikan
Nathaniel Tanaya (NT) yang akrab disapa Kiki kepada media pada Sabtu (10/7/2021).

Berdasarkan penuturan NT kepada awak media ada indikasi atau dugaan penyalahgunaan wewenang oleh oknum yang terkait atas terbitnya perizinan pengelolaan lahan di wilayah tersebut sehingga merugikan warga dan mengakibatkan kesengsaraan masyarakat setempat.

Jarak dari wilayah desa Selawangi dan Sukawangi untuk menuju lokasi penambangan di desa Sirnasari dan desa Sirnarasa gunung Pareang sekitar 18 km, itupun harus melalui dua gunung yaitu gunung Balubuk dan gunung Cibadak.

"Jadi hal ini sangat jelas bahwa PT. YMP menduduki lahan yang tidak sesuai dengan spek lokasi yang telah disepakati sesuai dalam surat perjanjian No. 0060/044.3/SEKPER/2021. Tanggal 14 Februari 2021," terang Kiki.

Tak tanggung-tanggung, dengan alibi alih fungsi lahan, penyerobotan tanah dengan luas sekitar 130 hektar ini akan berujung pidana. Hal itu dikatakan salah satu warga pemilik lahan yang diserobot, Nathaniel Tanaya, melalui keterangan persnya pada Jum'at (13/7/2021) siang.

Nathaniel Tanaya (Kiri) dan partner, M. Israr Dumbela (kanan)


Sebagai orang yang diberikan kepercayaan warga Pareang, Nathaniel mengisahkan bahwa awalnya pembelian lahan seluas 130 Ha oleh dirinya (selaku warga) secara bertahap, mulai dari tahun 2003 hingga 2013. Dia pun mengakui memegang surat-surat kepemilikan Sertifikat Hak Milik (SHM) seluas kurang lebih 30 Ha, AJB 20 Ha, serta 80 Ha berstatus Surat Keterangan Tanah (SKT).

"Pengurusan surat legal kepemilikan tanah seluas 130 Ha itu tidak semua kami jadikan SHM, kan itu nilai besar, biaya yang kami tanggung juga sangatlah cukup besar. Dan tanah belum bisa menghasilkan. Makanya tanah-tanah itu dikelola dan digarap sama anak buah saya bersama warga sekitar dalam bentuk kebun agar menghasilkan," kata Nathaniel.

Nathaniel dalam penuturannya juga menyebutkan, bahwa penyerobotan tanah yang dilakukan PT YMP dengan disupport oknum Perum Perhutani Bogor yang melibatkan para mafia tanah bermula tahun 2019. Apalagi ternyata tanpa sengaja, lahan yang dibelinya itu ada bermuatan tambang batuan.

"Waktu itu memang sempat lahan seluas 30 Ha yang berada di area kepemilikan kami dikontrak oleh salah satu perusahaan BUMN selama 10 tahun. Akan tetapi di dalam perjalanannya, kami harus menerangkan dan melunasi semua SPPT dan copy SHM. Tau sendiri BUMN Indonesia agak ribet (birokrasinya), apalagi terkendala oleh pandemi Covid-19," ujarnya.

Di tahun 2020, Nathaniel menjelaskan, pihaknya masih melakukan koordinasi dengan anak perusahaan BUMN dalam sebuah kontrak kerja sama (MoU) soal perijinan dan lain-lainnya, "kami tunduk dan patuh pada aturan dan tata kelola dong, sebagai warga Negara yang baik kan harus taat hukum," tukasnya.

Lebih rinci Nathaniel  mengatakan bahwa obyek lokasi yang dimaksud berbeda dengan titik lokasi lahan seluas 130 Ha.

Nathaniel mengulas seharusnya dalam berkas kepemilikan yang dimaksud oknum perum perhutani ada di desa Selawangi dan Sukawangi dengan adanya ijin IUP OP di desa Sirnarasa, Tanjung Sari Bogor, dan bukan di desa Sirnasari, Tanjung Sari, Kabupaten Bogor.

"Itu kan jelas namanya beda alamat yang disengaja. Kalau begitu namanya penyerobotan terstruktur yang kena pidana," ucap Nathaniel.

Lebih lanjut, Nathaneil mengurai kesalahan alamat itu jelas secara terang-terangan dan sangat berani membenturkan tata kelola dan aturan yang berlaku. Secara konstitusi, dia menyayangkan ulah oknum perum perhutani Bogor yang melibatkan para mafia tanah melakukan pembentukan konflik horizontal dengan tanpa adanya konfirmasi dari pemilik kebun atau pemilik tanah pihak Nathaneil.

"Oknum polisi kehutanan (Polhut) setempat (lokal) yang tidak sesuai dengan aturan kerja dan birokrasi hukum ini sebenarnya pada sekolah dimana? apa mereka tidak bisa baca berkas dan plang. Jika seperti itu dibiarkan maka negara akan kacau," tegasnya.

Hal itu tentunya telah memberikan contoh buruk kepada masyarakat. Dimana kepemilikan sah SHM yang dikeluarkan oleh negara juga tak dianggap oleh oknum-oknum itu, "lalu buat apa kita selalu bayar pajak kalau akhirnya akan seperti ini?!" kritik Nathaneil.

Dalam kondisi seperti itu, dia juga menyesalkan aparat yang berwenang di Desa Sirnasari tidak bisa berbuat banyak, unsur ketakutan dan hal-hal yang dibuat para oknum membuat mereka tidak berdaya sehingga terkesan cuci tangan.

"Anehnya, para oknum Perum Perhutani Bogor yang melibatkan para mafia tanah itu juga menggunakan gaya-gaya premannisme. Mereka menggerakkan beberapa ormas yang berbeda untuk melakukan eksekusi penyerobotan lahan, bahkan di lapangan terlihat jelas mereka berkerumun lebih dari 100 orang tanpa menghiraukan PSSB dan aturan PPKM Darurat," ungkap Kiki, sapaan akrab Nathaniel Tanaya.

Berdasarkan IUP nomor 7 kata Nathaneil yang seharusnya sebelum beroperasi harus mendapatkan persetujuan dari pemilik tanah. Dia juga menyebut di Nomor 8 tertera poin untuk memberikan ganti rugi kepada pemegang tanah yang hak. "Jelas kok ada aturannya," tegasnya.

Dia mengungkapkan dugaan penyerobotan lahan telah dilakukan proyeksi pembenturan hukum, dimana obyek lokasi seharusnya di desa Sirnarasa, bukan Sirnasari. Dia menuding hal itu merupakan perampokan gaya baru dengan dibekingi banyak oknum Kehutanan.

"Kan sudah  jelas di ijin saja lokasi yang disetujui obyek di gunung Subang. Hanya sekira 5,5 Ha, namun mereka merampok di lokasi yang beda ditulis sendiri dengan luas 50 Ha. Itu menjadi pertanyaan besar adanya sindikat mafia tanah yang melibatkan banyak unsur," terang Nathaneil.

"Sudah jelas itu mereka melanggar hukum yang ada di negara kesatuan Republik Indonesia. Saya dapat mempertanggung jawabkan semuanya sekalipun dimuka hukum, ini saya punya bukti-bukti kuat dalam bentuk dokumen - dokumen," ujar Nathaniel tegas.

Nathaneil menyebut pihaknya juga sudah menyurati semua pihak pejabat tinggi dengan membuat tembusan kepada Presiden RI, Kapolri, Menteri Kehutanan RI, Gubenur Jawa Barat serta disiarkan ke berbagai media cetak dan elektronik di Jakarta sebagai bentuk referensi hukum.

Diketahui, Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor juga melakukan penandatanganan Naskah Kesepakatan Kerjasama (NKK) Kemitraan Kehutanan Penggunaan Alur dalam kawasan hutan seluas 1,66 ha, dengan PT. Yafo Makmur Perkasa pada Rabu, 4 Nopember 2020.

Kala itu NKK ditandatangani Administratur KPH Bogor Ahmad Rusliadi dan Direktur PT. Yafo Makmur Perkasa Depi Rusnandar.

NKK itu meliputi penggunaan alur jalan hutan yang berada di  Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Tinggarjaya, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Jonggol yang secara administratif masuk Desa Sirnasari, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Bogor. []

Tidak ada komentar