Anggota Bawaslu Jakarta Timur
Kader
Nahdlatul Ulama (NU) diharapkan dapat terus menguatkan peran masing-masing di
segala bidang. Hal itu diharapkan agar dapat menopang dakwah NU dalam berbagai
sektor kehidupan. Organisasi NU kalau secara anggaran dasar, visi misi, tujuan
berdirinya sebagai organisasi sangatlah mulia.
Oleh Sebab itu, tujuan
mulia didirikannya NU, harus terus diingat. Sehingga, tidak ada alasan untuk
tidak melakukan upaya total kepada NU, berbagai sektor pun perlu terus dikuatkan.
Memasuki Tahun 2024 sebagai tahun politik
memang terasa sekali. Di berbagai penjuru wilayah Indonesia sudah bertebaran
spanduk, pamplet, baliho para politisi yang ingin bersaing berebut simpati
rakyat. Mereka ada yang berniat menjadi calon legislatif (caleg) DPRD
Kabupaten/kota, DPRD Provinsi, DPR RI, DPD RI. Sedangkan calon anggota
legislatif sangat banyak sekali dan tentu akan sangat susah diingat, baik dalam
visi misinya ataupun profil personalnya. Maka sudah sangat penting bagi rakyat
Indonesia untuk teliti dalam pelaksanaan pemilu ini, terutama dalam memilih
calon anggota legislatif, karena dari sisi kuantitas jumlahnya sangat banyak
sekali dari sisi kualitas tentunya pilihan kita harusnya adalah para caleg yang
punya profil positif dan rekam jejak yang bagus. Tentunya kita tidak asal pilih
sesuai dengan hati nurani saja, namun harus memakai akal sehat logis, dalam
tulisan ini logika tersebut menggunakan pendekatan teori maqashid as-syari'ah,
yaitu memilih calon pemimpin/perwakilan kita di parlemen nanti, bisa kita
gunakan konsep maqashid as-syari'ah sebagai parameter visi misi dan kebijakan
mereka.
Konsep maqashidusyariah dipopulerkan oleh
As-Syatibi (abad ke 7 H.) sebagai tujuan (maqashid) munculnya norma-norma
syariah di muka bumi ini.
As-Syatibi merumuskannya dalam lima poin.
Pertama,
Hifdu ad-Diin yaitu menjaga agama. Konsep ini merumuskan norma-norma
syariah adalah untuk menjaga agama Islam ini supaya bisa tetap bisa berjalan
dengan baik dan lancar. Tidak ada gangguan dari pihak lain. Di Indonesia,
kebebasan beragama dilindungi oleh konstitusi perundangan. Bahkan menjadi sila
pertama dalam Pancasila sebagai dasar negara.
Kedua, Hifdu An Nafs (menjaga jiwa) adalah sebuah kewajiban
menjaga diri masing masing dan orang lain dari semua hal yang membahayakan
jiwa, seperti melukai, merusak, bahkan pembunuhan. Sebagai umat Islam yang meyakini
konsep ukhuwah islamiah (persaudaraan sesama
umat Islam) harusnya
peduli terhadap saudara
muslim yang terdholimi
secara fisik, baik di dalam negeri dan juga dunia internasional.
Ketiga, Hifdu An Nasab (menjaga
keturunan) adalah kewajiban
seorang muslim untuk menjaga keturunannya
dari hal yang
merusak, seperti zina,
Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT),
perkosaan dan lainnya.
Juga menjaga agar
perilaku menyimpang seksual seperti
LGBT ini tidak berkembang
dan menjangkiti generasi
bangsa ini.Karena LGBT ini
adalah “penyakit jiwa
seksual” maka perlu diupayakan penyembuhannya, baik secara
medis, agama dan lingkungan. Terutama solusi agama
terhadap pengidap LGBT adalah merevolusi mental aqidahnya,
supaya lebih yakin terhadap kodrat kelaminnya baik sebagai laki-laki
atau sebagai perempuan. Karena LGBT ini sesungguhnya bisa disembuhkan
dengan penguatan Aqidah
dan ibadah secara
intensif didampingi dan diarahkan. Terutama oleh keluarga
dekatnya.
Keempat, Hifdu Al-Aql (menjaga Akal) adalah kewajiban menjaga akal pikiran dari
ideologi atau paham-paham sesat. Misal
dari Sekularisme, Pluralisme,
Liberalisme, Komunisme, Atheisme dan
lainnya, semua paham
sesat tersebut sudah
dinyatakan sesat oleh
Majelis Ulama Indonesia (MUI). Manusia saat ini juga harus menjaga agar
akal selalu sehat, yaitu memilih
dan memilah informasi
faktual atau hoax,
jangan terbawa arus
informasi yang begitu derasnya tanpa dipikir terlebih dahulu manfaat dan
madaratnya.
Kelima, Hifdu Al-Mal (menjaga harta) adalah
kewajiban menjaga harta
dari unsur yang merusak harta tersebut secara material
fisiknya, misal dari pencurian, perampokan, begal dan lainnya.Juga menjaga
harta halal tidak bercampur dengan harta haram.Baik saat usaha mencari harta
ataupun diberi harta. Jangan
sampai ada harta
riba atau harta suap
yang diterima.
Dalam konteks pemilu 2024 sekarang ini,
pilihlah capres/cawapres dan anggota legislative yang juga peduli terhadap
agama Islam dan seluruh ajarannya. Paling tidak menggunakan lima unsur
maqashidussyariah tersebut untuk menakar kualitas subjek pilihan kita. Jangan sampai salah
pilih.Karena salah satu
niat pemilu ini
adalah memilih orang
yang paling berkualitas untuk membawa
masyarakat yang sejahtera, maju, adil dan makmur.
Konsep
Keterwakilan Kader NU Dalam Politik Demokrasi?
Unsur
mendasar demokrasi setidaknya melibatkan tiga unsur pokok, yaitu warga negara
yang setara (demos), urusan publik (public matters), dan kontrol publik (popular
control). Maka, pertanyaan-pertanyaan terpenting untuk mendiagnosa situasi dan
kondisi demokrasi adalah: (1) siapa demos?; (2)bagaimana urusan publik
dirumuskan?; dan (3) bagaimana kontrol publik dijalankan?
Pertanyaan-pertanyaan
ini sangat erat kaitannya dengan persoalan keterwakilan dan partisipasi.
Keterwakilan berkaitan dengan jaminan atas hak-hak setiap warga negara
untukmewujudkan kepentingan-kepentingannya. Sedangkan partisipasi berkaitan
dengan jaminan atas hak-hak setiap warga negara untuk ikut serta secara aktif
di dalam proses-proses politik yang menentukan pengambilan, pelaksanaan dan
kontrol atas kebijakan-kebijakan publik.
Institusi
keterwakilan dan partisipasi yang demokratis harus menjamin hak dan kepentingan
setiap warga negara. Abai terhadap kedua aspek itu, maka demokrasi hanyalah
sebatas serangkaian prosedur demokrasi, dan karena itu jauh dari demokrasi yang
substansial.
Partisipasi
dan keterwakilan merupakan dua konsep penting yang senantiasa muncul dalam
topik diskusi demokrasi. Kendati begitu, masing-masing konsep merupakan buah
dari dua gagasan yang berbeda. Partisipasi tumbuh dalam tradisi pemikiran
republikanisme,sedangkan keterwakilan lebih dekat dengan gagasan liberalisme.
Partisipasi merupakan prinsip keterbukaan bagi semua individu untuk mengontrol
semua urusan publik, sedangkan keterwakilan berkaitan dengan pengakuan dan
pemenuhan atas hak-hak (kepentingan) setiap individu. Dalam wacana demokrasi,
karena itu, muncul istilah demokrasi langsung (directdemocracy) dan demokrasi
perwakilan (representative democracy).
Pada
perkembangannya hingga kini, baik partisipasi maupun keterwakilan kerap menjadi
tolak ukur kualitas demokrasi. Semakin luas partisipasi publik dan semakin
banyak kepentingan publik yang terwakili, dikatakan kualitas demokrasi semakin
baik. Sebaliknya,keterbatasan akses partisipasi dan ketimpangan muatan
kepentingan dalam proses dan produk-produk kebijakan publik merupakan indikasi
bagi buruknya kualitas demokrasi. Itu sebabnya demokrasi, entah langsung
ataupun perwakilan, dikatakan menjadi semakin baik kualitasnya jika semakin
substantif pada pelaksanaannya, bukan semata-mata mengutamakan prosedur.
Institusi-institusi
demokrasi yang lain, seperti rule of law, supremasi dan penegakan hukum,
kesetaraan di depan hukum, pemerintahan yang bersih dan antikorupsi, pemilihan
umum yang bebas, adil, dan terbuka, merupakan instrumen-instrumen operasional
yang hanya bisa bekerja baik jika ditopang oleh keterbukaan bagi partisipasi
publik yang luas dan keterwakilan publik yang akuntabel. Tanpa ditopang
partisipasi publik yang luas dan keterwakilan yang transparan dan akuntabel,
operasionalisasi instrumen-instrumen dapat tergelincir ke arah praktik-praktik
yang elitis dan eksklusif.
Dalam kaitan
itu, identifikasi mengenai siapa demos merupakan hal yang sangat mendasar. Dari
rumusan mengenai demos, itulah aspek-aspek perbaikan partisipasi dapat ditentukan
dan agregasi kepentingan publik melalui mekanisme perwakilan demokratis bisa
berlangsung lebih baik.
Semakin
terbatas demos maka akan semakin terbatas kepentingan publik yang bisa
dirumuskan. Dan semakin terbatas kepentingan publik, prosedur-prosedur
demokrasi hanya akan menguntungkan sebagian anggota masyarakat. Bagaimanapun,
prosedur-prosedur demokratis tentu saja bukan hal yang tak penting. Atas nama
demokrasi, pemenuhan kepentingan-kepentingan publik tetap harus dijalankan
melalui cara-cara dan mekanisme yang demokratis. Meskipun begitu, ketika
demokrasi mengalami stagnasi, ketika banyak orang merasakan demokrasi justru
menjauhkan mereka dari proses-proses perumusan kepentingan publik (karena
pengelolaan pemerintahan yang teknokratis) dan tidak berdaya melakukan kontrol
terhadap pelaksanaan pemerintahan yang demokratis (karena urusan publik diserap
menjadi mekanisme pasar dan menguntungkan hanya segelintir pemilik modal), dan
ketika konflik demi konflik komunal mengisi hari-haripelaksanaan demokrasi
(karena ada begitu banyak pengkotak-kotakan demos di tengah-tengah menguatnya
gejala komunalisme), hal paling utama yang harus diwaspadai adalah datangnya
godaan-godaan baru untuk meninggalkan demokrasi dan menyerah pada
pilihan-pilihan politik lain yang bisa saja berupa otoritarianisme. Survei
Demos 2007 antara lain juga menengarai indikasi adanya upaya-upaya menciptakan
“politik keteraturan” untuk mengatasi kekacauan-kekacauan sosial-politik yang
terjadi di dalam proses demokratisasi di Indonesia.
Sebuah studi
lain yang dilakukan Törnquist, menunjukkan ada lima pilihan strategi go politics
yang telah dan sedang ditempuh berbagai gerakan sosial di Indonesia, yaitu (1)
tetap dalam peranan sebagai kelompok penekan, (2)masuk parlemen, (3) memanfaatkan partai politik, (4) mendirikan partai alternatif, dan (5) menerobos
jaring-jaring kekuasaan pemerintahan. Sedangkan jalur-jalur politisasi yang
digunakan adalah (1) politik berbasis kepentingan masyarakat sipil dan
kerakyatan (civilsociety and popular interest politics), (2) politik komunitas
kaum tertindas (dissidentcommunity politics), (3) partisipasi politik langsung,
(4) politik wacana publik, dan (5) kontrak politik. Lima jalur lainnya adalah
politisasi melalui sistem kepartaian, yaitu dengan melakukan (6) front dari
dalam, (7) membangun partai serikat buruh, (8) partai multi sektoral,(9) partai
nasional berbasis ideologi, dan (10) partai politik lokal.
Dalam kajian
ini bagi Nahdlatul Ulama (NU) pilihan strategi tersebut tentu dapat dilakukan
semua mengingat modal ekonomi, sosial dan kultural yang dimiliki sebagai ormas
keagamaan di Indonesia. Akan tetapi tentu bukan pilihan strategi tentunya
berangkat dari sebuah peran yang dimiliki oleh NU dibidang politik demokrasi,
peran tersebut adalah peran lembaga NU sebagai opinion leader. Lembaga
keterwakilan alternatif bagi kepentingan yang tidak terwakili oleh ketiga
lembaga aspirasi seperti; civil society, politic society dan informal leaders.
Keterwakilan ini mencakup peran politik NU sebagai;
a) Fungsi Kultur Sosial
(Social Culture). Untuk membangun kepercayaan diri kader NU, persamaan wacana
dan komitmen kebangsaan dalam rangka memperkuat kelembagaan representrasi
demokrasi).
b) Fungsi Advokasi dan Literasi Politik (Advocacy and Politic
Literacy). Untuk mengawal proses politik demokrasi dan membangun literasi politik
anggota masyarakat.
c) Fungsi Jejaring Sosial (Social Networking). Memperkuat
modal ekonomi, modalkultural dan modal sosial NU untuk membangun fungsi kontrol
demokrasi dan penyalur aspirasi masyarakat.
Peran NU
dalam politik demokrasi berada pada Lembaga civil society dan informal leader.
Tetapi sering tidak berjalannya fungsi keterwakilan karena adanya dominasi
elit, maka perlu mengambil peran politik sebagai opinion leader. Peran tersebut
mengambil fungsi untuk membentuk perwakilan aspirasi masyarakat yang tidak
terwakili dengan menghilangkan hambatan-hambatan komunikasi politik seperti;
dominasi elit, politik transaksional, kaderisasi organisasi yang lambat serta
lemahnya penegakan hukum. Peran politik ini kemudian dikaitkan dengan fungsi
sosial NU sebagaimana terdapat dalam khittah 1926. Keterkaitan antara khittah NU
1926 dengan peran politiknya diimplementasikan dalam peran politik sebagai
opinion leader.
Bersama
Rakyat Awasi Pemilu.
Bersama
Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu.
Tidak ada komentar