Eksekusi tanah oleh juru sita PN Tangerang dihalangi oleh pihak tergugat dengan mengeksploitasi anak sekolah sebagai pagar betis.

LUGAS | Tangerang – Eksekusi tanah yang berlangsung di Kelurahan Lengkong Kulon, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang, Selasa (4/2/2025), diwarnai aksi penolakan yang melibatkan ribuan siswa Madrasah Aliyah (MA) Raudhatul Irfan yang gedungnya berdiri diatas sebagian tanah yang dieksekusi, termasuk libatkan alumni, dan masyarakat. Massa membentuk barikade manusia, menggelar mimbar bebas, serta melantunkan shalawat sebagai bentuk protes terhadap putusan hukum yang telah berkekuatan tetap.


Tanah yang Sah, Sengketa yang Berlarut

Sengketa lahan ini sudah melalui jalur hukum hingga tingkat Mahkamah Agung. Ahli waris, melalui kuasa hukumnya H. M. Sirot, S.H., M.H., telah memenangkan perkara ini berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 48/PDT.GG015/PN.TNG (2016), Putusan Pengadilan Tinggi Banten Nomor 43/PDT/2017/PT BTN dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 82 K/Pdt/2019.

“Pihak Yayasan/Sekolah telah melakukan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung, namun PK mereka ditolak sehingga tidak ada lagi upaya hukum,” ungkap H. M. Sirot, S.H., M.H yang juga Direktur Lembaga Pemberdayaan Bantuan Hukum (LPBH) Generasi Muda Trikora kepada awak media, Rabu (5/2/2025). 

Kuasa hukum ahli waris menegaskan bahwa putusan ini bersifat final dan mengikat, sehingga pelaksanaan eksekusi tidak bisa dihalangi. Namun, pihak yayasan yang mengelola madrasah menolak keputusan tersebut dan memilih untuk melakukan aksi massa dengan melibatkan anak-anak sekolah.


Siswa-siswi Madrasah Aliyah Roudhotul Irfan Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten, diduga dieksploitasi untuk jadi pagar betis guna menghalangi eksekusi tanah pada Selasa (4/2/2025). (foto:Ist)



Sekolah dan Yayasan Menolak Eksekusi Gunakan Anak-Anak Sekolah

Sejak pagi, ratusan siswa berseragam duduk berbaris di halaman sekolah, sebagian berdiri di barisan depan menghadang petugas eksekusi. Beberapa di antara mereka bahkan menangis, sementara para guru dan alumni terus mengobarkan semangat perlawanan.

Muhammad Abduh, alumni angkatan 2005, serta Bustomi, seorang guru senior madrasah, menganggap putusan pengadilan penuh kejanggalan. Mereka bersikeras mempertahankan tanah tersebut dengan alasan bahwa lahan ini adalah tanah wakaf yang harus tetap digunakan untuk kepentingan pendidikan.

Namun, fakta hukumnya jelas: tidak ada dokumen resmi yang menyatakan tanah tersebut sebagai wakaf.

Ahli waris, melalui kuasa hukumnya, membantah bahwa eksekusi ini akan merugikan sekolah. 

"Tanah ini milik ahli waris secara sah. Tidak ada niat untuk menghentikan operasional sekolah. Namun, hak kepemilikan tanah harus dihormati," tegas H. M. Sirot, S.H., M.H.


Eksploitasi Anak-Anak dalam Aksi Massa: Pelanggaran Hukum

Penggunaan anak-anak sebagai pagar betis dalam aksi massa semacam ini bukan hanya tidak etis, tetapi juga merupakan pelanggaran hukum yang serius. Dalam sistem perundangan Indonesia, eksploitasi anak untuk kepentingan konflik atau sengketa diatur secara tegas dalam beberapa regulasi perundangan-undangan dan aturan hukum:

1.  Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak)

Pasal 15: Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, kerusuhan sosial, atau peristiwa yang mengandung unsur kekerasan.

Pasal 76H: Setiap orang dilarang merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan yang melibatkan kekerasan.

Pasal 87: Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan sanksi pidana, termasuk pidana penjara dan denda.

2. Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child - CRC)
Indonesia telah meratifikasi CRC melalui Keppres No. 36 Tahun 1990, yang menegaskan hak anak untuk bebas dari eksploitasi dan kekerasan.

Pasal 19 CRC melarang eksploitasi terhadap anak dalam situasi yang membahayakan fisik maupun mental mereka.

3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas)

Pasal 3: Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, bukan sebagai alat kepentingan bisnis.

Pasal 4 ayat (1): Pendidikan harus diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan tanpa diskriminasi.

Pasal 51 ayat (2): Pengelolaan dana pendidikan harus transparan dan akuntabel, sehingga tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi.

4. KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)

Pasal 76C UU Perlindungan Anak, jo. Pasal 80 KUHP: Tindakan yang membahayakan anak dapat dikenakan pidana.

Pasal 170 KUHP: Jika tindakan melibatkan kekerasan terhadap orang atau barang secara bersama-sama, pihak yang bertanggung jawab dapat dipidana.

5. Undang-Undang HAM (UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia)

Pasal 66 ayat (1): Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari segala bentuk eksploitasi ekonomi dan sosial yang membahayakan diri mereka.

Pasal 71: Negara bertanggung jawab melindungi hak-hak anak dari eksploitasi.

6. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU No. 11 Tahun 2012)

Menggunakan anak dalam situasi konflik berpotensi menyebabkan trauma dan melanggar hak anak, yang berakibat pada perlunya tindakan hukum terhadap pihak yang bertanggung jawab.


Eksekusi Ditunda, Penyelesaian Masih Menggantung

Melihat perlawanan yang semakin masif, aparat keamanan dan tim eksekusi memutuskan untuk menunda pelaksanaan eksekusi guna menghindari bentrokan. Meski demikian, kuasa hukum ahli waris menegaskan bahwa putusan ini tidak bisa diabaikan dan akan tetap dilaksanakan di kemudian hari.

“Ini bukan soal membubarkan sekolah, tetapi soal menegakkan hukum. Kami berharap semua pihak dapat menyikapi persoalan ini dengan kepala dingin,” ujar H. M. Sirot, S.H., M.H.

Di sisi lain, tindakan yayasan yang menggunakan anak-anak sebagai tameng dalam aksi penolakan memicu reaksi keras dari berbagai pihak. Beberapa aktivis perlindungan anak mendesak aparat untuk menyelidiki dan mengambil langkah hukum terhadap mereka yang bertanggung jawab.

Perlawanan terhadap eksekusi lahan ini tidak hanya melibatkan aspek hukum, tetapi juga moralitas. Menggunakan anak-anak sebagai alat adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan, baik secara hukum maupun etika. 

(S11/MPR)