LUGAS | Jakarta, 28 Maret 2025—Ini bukan demo biasa. Ini juga bukan sekadar unjuk rasa. Ini adalah suara hati yang berubah menjadi suara aksi.  

Pagi itu, di depan Gedung Sarinah, Jl. Thamrin, Jakarta, sekelompok ibu-ibu berdiri dalam barisan yang rapat. Tak ada spanduk besar. Tak ada baliho dengan foto-foto besar. Yang ada adalah wajah-wajah yang menampakkan keprihatinan. Beberapa dari mereka mengenakan pakaian seadanya. Beberapa memakai kaus putih dengan tulisan “Suara Ibu Indonesia.”  

Di tangan mereka, ada secarik kertas berisi seruan. Bukan selebaran kampanye, bukan buletin propaganda. Ini adalah suara para ibu yang memanggil hati nurani bangsa.  

Kami adalah Ibu Indonesia

Begitu bunyi kalimat pertama dalam teks yang mereka sebar. Seperti sebuah deklarasi, pernyataan bahwa mereka bukan sekadar penonton dalam arus sejarah.  

Mereka hadir bukan hanya untuk menuntut. Mereka datang untuk melindungi.  

Gerakan dari Hati


Avianti Armand, seorang arsitek dan penulis, adalah salah satu penggagas gerakan ini. Ia tak ingin gerakan ini hanya menjadi catatan kaki dalam sejarah, seperti yang terjadi pada banyak protes sebelumnya.  

“Kami ingin memastikan anak-anak kami tidak lagi mengalami kekerasan ketika menyuarakan pendapatnya,” katanya.  

Di sebelahnya, seorang perempuan lain mengambil mikrofon. Budayawan Melani Budianta, yang kini sudah bercucu, mengenang bagaimana anaknya dulu berdiri di garis depan untuk menolak Dwifungsi ABRI.  

“Dulu anak saya yang turun ke jalan. Sekarang cucu saya pun harus melihat ini?” katanya dengan suara yang bergetar.  

Sulistyowati Irianto, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ikut bersuara. Ia mengingatkan bahwa sejarah membuktikan: mahasiswa selalu menjadi motor penggerak perubahan.  

“Jangan pernah remehkan mahasiswa. Mereka yang selalu berada di garda depan setiap kali negeri ini berada di persimpangan,” katanya.  

Dan ketika Karlina Supelli mengambil alih mikrofon, suasana berubah lebih hening.  

“Kalau ibu-ibu sudah turun ke jalan, itu tandanya ada sesuatu yang sangat genting,” katanya.  

Karlina adalah salah satu tokoh yang menggagas Suara Ibu Peduli pada 1998. Gerakan yang lahir dari keprihatinan terhadap kekerasan di masa itu. Sekarang, ia melihat sejarah seperti berulang.  

“Inilah yang terjadi ketika negara tak mendengar suara rakyatnya,” katanya lagi.  

Lagu dan Air Mata


Di tengah aksi, sekelompok ibu menyanyikan lagu Ibu Pertiwi dan Bagimu Negeri. Suara mereka tak keras, tetapi nyaring. Ada isak tangis yang menyertai.  

Di sela-sela lagu, suara orasi kembali terdengar.  

“Kami tidak akan melarang anak-anak kami memperjuangkan masa depan mereka. Tapi kami ingin mereka dilindungi. Jangan ada yang hilang. Jangan ada yang dianiaya. Jangan ulangi sejarah kelam negeri ini!”  

Ini bukan sekadar demo mahasiswa. Ini adalah gerakan yang telah menyentuh inti dari keadaban: seorang ibu melindungi anaknya.  

Tuntutan yang Tegas


Tak ada basa-basi. Tuntutan mereka jelas:  

1. Stop kekerasan terhadap mahasiswa.  
2. Batalkan UU TNI dan tolak RUU Polri.  
3. Kembalikan tentara ke tugas utamanya: membela tanah air. Dan polisi ke tugas utamanya: melindungi masyarakat.  

Avianti Armand menutup aksi dengan satu harapan:  

“Kami berharap ibu-ibu lain di seluruh Indonesia juga ikut bersuara. Agar gelombang ini semakin besar. Agar keadilan kembali ditegakkan.”  

Lalu, mereka bubar perlahan. Tanpa gaduh. Tanpa bentrokan.  

Tapi yang mereka tinggalkan lebih besar dari sekadar aksi di jalan. Mereka telah menanamkan sesuatu di hati banyak orang. Sesuatu yang mungkin tidak bisa dilawan dengan gas air mata atau pentungan.  

Sebuah suara. Sebuah harapan. Sebuah peringatan.



Galeri foto