![]() |
Ilustrasi pasien mengisi waktu menunggu antrian sambil merajut. |
Kota Bekasi, 7 Maret 2025
Di ruang tunggu sebuah rumah sakit, waktu bergerak perlahan. Kursi-kursi dipenuhi pasien dengan beragam cerita, sementara udara bercampur antara aroma antiseptik dan kecemasan yang samar. Ada yang sibuk menatap layar ponsel, ada yang terdiam, ada pula yang seperti Ibu Anthie Harun—mengisi waktu dengan merajut, menyulam ketabahan dalam benang-benang warna-warni.
Di Rumah Sakit Hermina Bekasi, di antara antrean panjang menuju ruang konsultasi dokter, Ibu Anthie (58) tampak tenang. Perempuan asal Kota Ende, Nusa Tenggara Timur, itu telah melalui berbagai ujian medis yang panjang: kanker payudara pada 2016, pengangkatan rahim pada 2017, pemasangan pen di tulang belakang pada 2022, dan kini infeksi kantong empedu yang membawanya kembali ke ruang tunggu ini. Namun, dari sorot matanya, tak ada yang terlihat sebagai keluhan. Hanya ketabahan yang diam-diam ia rajut bersama benang-benangnya.
"Pesan saya sebagai pasien, ingat! Jangan pernah patah semangat. Kita harus selalu bertahan. Allah tidak memberi cobaan karena marah, tapi karena sayang. Percayalah, ada rencana indah yang telah dipersiapkan untuk kita," katanya, seraya tangannya terus menari di atas tapestri kecil yang mulai membentuk pola.
Bagi Ibu Anthie, kesembuhan tidak hanya datang dari obat-obatan atau meja operasi, tapi juga dari semangat orang-orang di sekelilingnya. Ia meyakini bahwa solidaritas antar pasien adalah bagian dari proses penyembuhan.
"Saat ini saya sedang menunggu dokter spesialis penyakit dalam. Tapi bagi saya, antrean bukan beban. Kita harus tetap semangat dan menjalaninya dengan ikhlas," ujarnya.
Merajut menjadi caranya mengalihkan perhatian dari rasa sakit. Setiap helai benang yang ia simpulkan bukan sekadar hiasan, melainkan simbol ketekunan dan harapan.
"Merajut itu menyenangkan. Kalau dijalani dengan telaten, bisa menjadi karya seni yang indah, bahkan bernilai ekonomi," katanya sambil tersenyum.
Di rumah sakit, di mana rasa sakit sering kali menjadi penghubung tak kasat mata antar sesama pasien, solidaritas adalah bentuk pengobatan yang tidak tertulis dalam resep dokter. Ketika seorang pasien lain tampak murung setelah kemoterapi, Ibu Anthie selalu berusaha memberi semangat.
"Kadang, penderita kanker hanya butuh didengar. Kemoterapi dan radiasi bukan hal mudah. Maka, jika mereka ingin berkeluh kesah, dengarkanlah. Jangan buru-buru menasehati. Kadang, kita hanya perlu ada di sampingnya, memastikan ia tidak sendirian," pungkas Ibu Anthie.
Di sudut lain ruang tunggu, Dwi Rahayu, seorang pasien kemoterapi kanker payudara, menimpali. Baginya, suasana yang penuh kehangatan dan dukungan adalah bagian penting dari proses pemulihan.
"Dokter, perawat, suster, petugas keamanan, bahkan petugas kebersihan, semuanya seperti dilatih untuk berkomunikasi dengan ramah. Suasana itu yang membuat pasien merasa seperti di rumah sendiri," katanya.
Di ruang tunggu itu, waktu tetap bergerak perlahan. Namun, di sela suara panggilan pasien, ada kehangatan yang lahir dari percakapan, dari genggaman tangan yang menguatkan, dari semangat yang terus dirajut. Karena di rumah sakit, lebih dari sekadar tempat berobat, ada komunitas kecil yang tanpa sadar tumbuh—komunitas yang diikat oleh rasa saling peduli.
Disarikan dari catatan Agus Wiebowo, Pewarta LUGAS yang sedang mendampingi istrinya—seorang pasien kanker.
Tidak ada komentar