LUGAS | Jakarta – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyoroti bahaya revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang dinilai dapat menghidupkan kembali praktik dwifungsi militer dalam pemerintahan. Dalam konferensi pers yang digelar di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta Pusat, Kamis (6/3), sejumlah organisasi menegaskan bahwa revisi ini bertentangan dengan semangat reformasi dan berpotensi mengancam demokrasi.
Hadir dalam diskusi tersebut perwakilan dari berbagai organisasi masyarakat sipil, seperti KontraS, Imparsial, Amnesty International Indonesia, WALHI, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, serta Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI).
Meningkatnya Peran Militer di Pemerintahan
Peneliti KontraS, Dimas Bagus Arya, mengungkapkan bahwa tren penempatan militer dalam jabatan sipil semakin meningkat di era pemerintahan Prabowo Subianto. Jika di era Susilo Bambang Yudhoyono hanya ada satu pejabat berlatar belakang militer, maka di era Prabowo jumlahnya melonjak drastis, mencapai lebih dari 10 orang. Bahkan, beberapa di antaranya masih berstatus aktif di TNI.
“Bukan hanya di kementerian, tapi juga di badan-badan strategis seperti Badan Gizi Nasional, di mana 5 dari 8 pejabat manajerialnya berasal dari militer,” kata Dimas.
Lebih jauh, Dimas menyoroti rekonsolidasi jaringan lama di lingkaran Prabowo. Beberapa nama yang memiliki hubungan dengan Tim Mawar, seperti Nugroho di Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dan Yuloli Selfanus sebagai Gubernur Sulawesi Utara, menjadi indikasi kembalinya militer ke berbagai sektor sipil.
Revisi UU TNI: Menormalisasi Militerisasi
Salah satu pasal yang menjadi sorotan utama adalah Pasal 47 dalam revisi UU TNI, yang memungkinkan prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil di luar kementerian yang berhubungan langsung dengan pertahanan. Menurut Direktur Imparsial, Husein, aturan ini berisiko melanggengkan militerisasi dalam birokrasi sipil.
"Kalau revisi ini disahkan, maka bukan hanya keterlibatan militer dalam proyek-proyek pemerintah yang akan semakin luas, tetapi juga semakin sulit bagi masyarakat sipil untuk menggugatnya karena semua itu akan memiliki dasar hukum," ujar Husein.
Ia juga mengingatkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, peran TNI telah merambah ke berbagai sektor non-militer, mulai dari program ketahanan pangan hingga proyek Food Estate yang melibatkan pengerahan batalyon ke Kalimantan Tengah dan Papua.
Ancaman bagi Profesionalisme dan Meritokrasi
Kekhawatiran lain datang dari Ichsan, perwakilan dari Centra Initiative. Menurutnya, revisi ini justru melemahkan profesionalisme militer dan merusak sistem birokrasi sipil yang berbasis meritokrasi.
"ASN yang sudah bertahun-tahun bekerja dan meniti karier bisa tiba-tiba tersingkir oleh perwira militer yang ditunjuk begitu saja. Ini bukan hanya masalah keadilan bagi ASN, tapi juga ancaman terhadap sistem pemerintahan yang berbasis kompetensi," katanya.
Tak hanya itu, revisi ini juga membuka peluang bagi militer untuk kembali ke dunia bisnis. Padahal, Undang-Undang TNI saat ini secara tegas melarang prajurit terlibat dalam aktivitas ekonomi. "Kalau ini diloloskan, jangan heran kalau kita melihat lagi militer menguasai sektor perkebunan, tambang, dan bisnis strategis lainnya, seperti di era Orde Baru," tambahnya.
Kembali ke Dwifungsi ABRI?
Ketua YLBHI, Arif Maulana, menegaskan bahwa revisi ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap reformasi 1998. Salah satu tuntutan utama reformasi adalah penghapusan Dwifungsi ABRI, yang memberi peran ganda bagi militer di sektor pertahanan dan politik.
"Revisi ini bukan hanya membuka jalan bagi kembalinya militer dalam urusan sipil, tapi juga berpotensi menciptakan Neo-Orde Baru yang dilegitimasi oleh undang-undang," ujar Arif.
Ia juga mengkritik proses penyusunan revisi yang dilakukan secara tertutup. Hingga kini, draf revisi dan naskah akademiknya tidak dapat diakses oleh publik. "Ini mengulang pola pembuatan UU bermasalah sebelumnya, seperti UU Cipta Kerja. Demokrasi kita semakin terancam ketika kebijakan strategis dibuat tanpa partisipasi publik," tambahnya.
Militerisasi dalam Sengketa Agraria
Dampak lain dari perluasan peran militer juga dirasakan dalam konflik agraria. Direktur WALHI, Teo Reffelsen, mencatat bahwa keterlibatan militer dalam proyek strategis nasional telah memperburuk ketimpangan akses tanah bagi masyarakat adat dan petani.
"Di banyak wilayah, kita melihat kehadiran militer justru digunakan untuk melindungi kepentingan korporasi dalam proyek perkebunan dan tambang. Ini bukan reformasi, tapi langkah mundur ke era Orde Baru," tegasnya.
Menolak Militerisasi, Menjaga Demokrasi
Koalisi Masyarakat Sipil menyerukan agar revisi UU TNI ini dibatalkan. Mereka menegaskan bahwa militerisasi pemerintahan hanya akan melemahkan supremasi sipil, memperburuk tata kelola birokrasi, dan membuka jalan bagi otoritarianisme baru.
"Presiden dan DPR harus berhenti mengutak-atik reformasi yang sudah diperjuangkan dengan darah dan air mata. Demokrasi tidak boleh dikorbankan demi stabilitas yang semu," pungkas Arif.
Konferensi pers ini diakhiri dengan pernyataan sikap bersama untuk menolak revisi UU TNI dan mendesak pemerintah agar fokus memperkuat supremasi sipil sesuai dengan amanat reformasi 1998.
Laporan Dani Prasetya
Editor: Mahar Prastowo
Tidak ada komentar