Oleh: Mahar Prastowo

Gunung Agung
— Bukan. Ini bukan letusan gunung. Tapi meledaknya amarah rakyat yang selama ini memendam kecewa. Gunung Agung yang satu ini bukan di Bali, tapi di Lampung Tengah. Dan yang meletus bukan magma, melainkan massa. Yang terbakar bukan hutan, tapi rumah dan mobil kepala kampung.

Sabtu sore, 17 Mei 2025, rumah Sukardi, Kepala Kampung Gunung Agung, hangus. Sepeda motor ikut jadi arang. Mobilnya — entah jenis apa, konon masih cicilan — sudah berubah jadi rangka. Bahkan kantornya disegel seperti toko yang gagal bayar pajak.

Saya pernah ke Gunung Agung, Lampung Tengah, sudah sangat lama. Tapi saya bisa membayangkan wajah kampung itu sore itu: pekat asap, panas amarah, dan aroma bansos yang gosong.

Saya tidak sedang membela aksi main hakim sendiri. Tapi saya juga paham betapa panjang dan sabarnya rakyat sebelum akhirnya turun tangan dengan cara mereka sendiri. Sebab menurut warga, ini bukan pertama kali. Bukan kedua. Tapi sudah keempat.

Empat kali Sukardi — lurah yang namanya kini dikenal se-Lampung — diduga menjual beras bantuan sosial. Yang terakhir, 4 ton beras, dikemas rapi dalam 400 karung, dikirim diam-diam ke sebuah pesantren di Tulangbawang Barat. Nilainya: Rp 36 juta. Kejadian itu akhir Januari 2025.


Ada Truk, Ada Saksi, Ada Emosi

Warga bernama Deki yang mencium kejanggalan malam itu — Senin pukul 7 malam — merasa ada yang tak biasa. Balai Kampung yang seharusnya tempat menyimpan bansos malah jadi gudang ekspor ke luar kabupaten.

Deki dan temannya mengikuti truk itu. Mungkin sambil rekam video. Mungkin sambil marah-marah di dalam hati. Mungkin sambil menghitung: berapa karung, berapa kilo, berapa harga pasar, dan berapa hak orang miskin yang ikut hilang dalam perjalanan.

Kecurigaan berubah jadi keyakinan. Keyakinan berubah jadi tuntutan. Tapi suara rakyat, seperti biasa, lambat sekali sampai ke telinga penguasa.


Duel, Darah, dan Dentuman Amarah

Lalu, darah tumpah. Seorang warga bernama SRY, yang dikenal aktif mempertanyakan soal bansos, bertengkar di pasar. Dengan siapa? Dengan kerabat Sukardi — AGS namanya.

Pasar yang seharusnya tempat tawar-menawar harga sayur, berubah jadi TKP. SRY ditikam, tewas. AGS ditangkap.

Apakah ini kebetulan? Sulit tidak mengaitkannya. Karena SRY memang salah satu suara paling vokal menyoal penyelewengan bansos.

Dan setelah darah keluar, api menyusul.

Malam itu, rumah Sukardi yang sudah tak berpenghuni jadi sasaran. Entah siapa yang mulai. Tapi massa seperti sudah siap dengan korek dan bensin. Mobil dan motor yang terparkir — mungkin pernah dibeli dari uang honor kepala kampung — ikut dibakar.


Negara Datang Terlambat

Polisi datang. Mengevakuasi keluarga Sukardi. Istrinya. Anaknya. Lalu memasang garis polisi.

Mereka memang datang. Tapi, seperti biasa: setelah semuanya selesai.

Dan di belakang polisi, datang pula pejabat-pejabat kecamatan. Camat Terusan Nunyai, Luberto Fabioca, menyampaikan bahwa pencopotan kepala kampung tidak semudah mencopot poster caleg. Harus ada mekanisme. Harus ada aturan. Harus menunggu proses.

Warga hanya tertawa pahit. Karena selama proses itu berjalan, mungkin bansos berikutnya sudah lenyap lagi.


Korupsi Paling Jelas: Mengambil dari Perut Orang Lapar

Korupsi bansos adalah kejahatan paling telanjang. Tidak perlu audit BPK. Tidak butuh data investigatif. Cukup lihat warga yang tidak lagi makan beras, tapi singkong.

Dan Gunung Agung — kampung kecil di Lampung Tengah — sedang menunjukkan kepada kita semua, bahwa kesabaran rakyat ada batasnya.

Yang dibakar bukan hanya rumah. Tapi juga kepercayaan.

Dan jika negara terus terlambat — baik dalam mengadili, maupun dalam mencopot yang terbukti jahat — maka rakyat akan kembali menyulut korek api. Di kampung lain. Di tempat lain. Di waktu lain.

Karena beras bukan hanya soal logistik. Tapi juga soal martabat.