![]() |
Kapolda Metro Jaya dalam apel bersama pada 9 Mei 2025 di Monas |
Oleh: Mahar Prastowo
Operasi itu tidak lahir dari ruang rapat ber-AC. Tapi dari jalan-jalan sempit Jakarta, dari keresahan warung kopi, dari suara-suara sumbang di gang-gang gelap, dan dari angka-angka yang pelan-pelan menjelma menjadi ancaman: 45 kasus tawuran hanya dalam sebulan di wilayah Polda Metro Jaya.
Maka 1 Mei 2025, Polri resmi mengibarkan bendera perang terhadap premanisme. Nama operasi itu: Berantas Jaya. Waktunya: 15 hari. Skopnya: nasional. Targetnya: segala bentuk aksi premanisme—dari pemalakan pinggir jalan, ormas intimidatif, sampai remaja bawa sajam di tengah malam.
Tapi berita besar itu terasa seperti pidato pejabat. Ramai di media, sunyi di lapangan. Hingga malam Sabtu kemarin (10 Mei), angin perlawanan itu terasa hangat di sekretariat RW 09 Kebon Pala, Makasar, Jakarta Timur.
Malam di Kebon Pala
Di sekretariat RW 09 yang sederhana, cahaya lampu remang bercampur suara obrolan warga. Kapolsek Makasar, Kompol Sumardi, datang tak membawa sirine. Ia duduk di lingkaran warga, bersama Babinsa, ASN kelurahan, Satpol PP, FKDM, pengurus RT/RW, tokoh masyarakat, Potmas Senkom (Sentra Komunikasi) Mitra Polri, FKPM. Sebuah apel lintas pilar digelar—bukan sekadar formalitas, tapi titik tolak.
Ketua RW, Rohedi, berdiri. Ia tidak membaca naskah. Ia bicara pakai hati.
“Kami ini belum punya pos keamanan. Belum ada tenaga keamanan. Kadang kita takut salah, apalagi kalau ketemu anak-anak bawa sajam. Hukum ini kadang bikin warga ragu bertindak,” katanya.
Rohedi bukan mengeluh. Ia mengusulkan: pos kamling permanen di sekitar Jalan SMP 275 samping kuburan. Lokasi yang kerap jadi titik nongkrong remaja hingga lewat tengah malam. Ia juga minta pelatihan kewaspadaan dini. Karena pencegahan tak bisa hanya berharap pada patroli polisi.
Kompol Sumardi mendengar tanpa menyela. Ia menanggapi bukan dengan ancaman, tapi empati.
“Anak-anak itu aset kita. Tapi kalau jam 10 malam belum pulang, orang tua harus cari. Jangan sampai ketemunya pas sudah di kantor polisi,” ujarnya. Suaranya pelan tapi tegas. Ia ingin warga aktif, bukan pasif. Ia tidak bicara soal senjata, tapi soal hubungan. Soal kepercayaan.
“Saya di sini bukan untuk sekadar dinas. Saya ingin tinggal lama di Makasar, jadi bagian dari keluarga besar warga sini,” tambahnya.
Malam itu, tidak ada penangkapan. Tidak ada penyitaan senjata tajam. Tapi mungkin di situlah letak kekuatan Operasi Berantas Jaya: bukan hanya di peluru, tapi di pelukan. Bukan di intimidasi, tapi di komunikasi.
Premanisme Tidak Selalu Bertato
Polri menyebutkan, operasi ini didukung 999 personel di Jakarta saja. Ada 663 dari Polri, 306 dari TNI, dan 30 dari Pemprov. Tapi musuh mereka bukan hanya pria bertubuh kekar yang memalak di terminal. Preman sekarang bisa berbaju rapi, berbicara atas nama ormas, lalu memeras pelaku usaha dengan modus pengamanan.
Brigjen Trunoyudo dari Humas Polri menyebut, operasi ini tak pandang bulu. “Premanisme dalam bentuk apa pun yang mengganggu ketertiban masyarakat dan iklim usaha akan ditindak tegas,” katanya. Fokusnya: pemerasan, pengancaman, penganiayaan, sampai pungli di lokasi-lokasi rawan.
Premanisme hari ini tidak melulu soal kekerasan fisik. Ia bisa menjelma dalam bentuk lain: intimidasi sosial, tekanan ekonomi, bahkan penyalahgunaan wewenang oleh kelompok tertentu.
Ketika Warga Turun Tangan
RW 09 hanyalah satu titik dari ribuan yang rawan. Tapi malam itu menjadi penting karena memberi pelajaran: bahwa perlawanan terhadap premanisme bisa dimulai dari obrolan warung kopi, dari forum RW, dari silaturahmi yang hangat antara warga dan polisi.
Ketika pos kamling yang usang didandani kembali. Ketika warga mulai bertanya: “Jam segini anak siapa itu masih nongkrong?”—itulah awal dari kemenangan melawan premanisme.
Catatan Redaksi
Operasi besar seperti Berantas Jaya penting, apalagi bila diikuti tindakan nyata. Tapi lebih penting lagi adalah ketika warga mulai merasa punya andil dalam keamanan. Bahwa menjaga kampung bukan hanya urusan polisi. Bahwa “premanisme” adalah gejala dari hilangnya rasa saling peduli.
Dan malam itu di Kebon Pala, Jakarta, seorang Kapolsek dan seorang Ketua RW mengingatkan kita semua: keamanan bukan cuma soal senjata, tapi soal siapa yang bersedia menjaga, siapa yang mau mendengar.
Kalau Jakarta punya lebih banyak malam seperti di RW 09, barangkali kita tak butuh operasi 15 hari. Kita hanya perlu satu hal yang dulu pernah kita punya, tapi pelan-pelan kita lupakan: gotong royong.
(Selesai)
1 komentar