LUGAS | Jakarta – Senin sore, 5 Mei 2025. Sinar matahari mulai mengendur, tetapi ketegangan justru meningkat di pelataran Gedung Mabes Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sekitar seratus pengacara yang tergabung dalam Tim Advokat Penegak Hukum Anti Premanisme—dengan nama garda depan nan agresif, TUMPAS—berkumpul. Mereka datang bukan untuk berdiskusi biasa. Mereka menuntut tindakan tegas. Target mereka satu: premanisme.

Dipimpin pengacara senior yang dikenal vokal, Saor Siagian, TUMPAS menggelar konferensi pers usai melakukan audiensi dengan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri, mewakili Kapolri. Audiensi bersifat tertutup. Tapi pesan mereka kepada publik, disampaikan dengan lantang dan gamblang.

“Negara Tidak Boleh Kalah!”

“Premanisme bukan hanya mengganggu keamanan, tapi juga telah menggerogoti sendi ekonomi,” kata Saor dalam pernyataan resminya. Ia berdiri tegap, mikrofon di tangan, didampingi oleh pengacara lain seperti Robert Keytimu dan Daniel Hutabarat.

Di hadapan para wartawan, Saor menyebut bahwa premanisme kini tidak lagi terbatas pada aksi jalanan. Modusnya telah merambah sistemik: mengintimidasi pedagang pasar, menyusupi proyek-proyek strategis, hingga membungkam investor melalui kekerasan tersembunyi dan pemerasan terorganisir.

“Kalau ini tidak segera ditindak, kita bisa kehilangan kontrol. Negara bisa lumpuh dalam menghadapi mereka,” tegasnya.

Dari Pasar ke Pusat Kekuasaan

Para advokat dalam TUMPAS bukan nama sembarangan. Daftar panjang 94 nama yang mereka umumkan mencakup pengacara senior, doktor hukum, hingga aktivis yang lama bersuara lantang dalam isu keadilan dan hak sipil. Di antara mereka ada Turman Panggabean, Sugeng Teguh Santoso, hingga Eleonora Moniung. Formasi ini menunjukkan bahwa TUMPAS bukan sekadar kumpulan pencari panggung. Mereka menyusun kekuatan hukum untuk menantang kekuatan gelap yang telah lama beroperasi nyaris tanpa lawan.

Menurut mereka, para preman bukan hanya menakuti, tetapi juga telah masuk ke jantung ekonomi: memungut ‘jatah’ dari pedagang pasar, mendikte pelaku usaha kecil, bahkan menyabotase kepastian hukum yang menjadi daya tarik investor.

“Banyak investor enggan masuk ke Indonesia karena mereka merasa hukum kita tak sanggup melindungi dari premanisme,” ujar Robert Keytimu.

Dari Mabes ke Media

Setelah pertemuan internal dengan Kabareskrim, tiga perwakilan TUMPAS segera menemui awak media. Dalam gaya yang mirip orasi kampus, Saor mengatakan bahwa penindakan harus menyasar ke pimpinan-pimpinan preman, bukan hanya ‘tangan-tangan kecil’ di lapangan.

“Kalau bisa, dari akar-akarnya. Dari yang paling atas. Jangan pandang bulu. Ini harus tuntas,” ujarnya disambut anggukan kolega-koleganya.

Ketegasan ini menyiratkan kekecewaan mereka atas penegakan hukum yang selama ini dianggap tebang pilih. TUMPAS, lewat Saor, memperingatkan: bila tidak segera ditindak, para preman akan menjadi kekuatan otonom yang sulit dikendalikan, bahkan oleh negara sekalipun.

Situasi Aman, Tekanan Meningkat

Meski pernyataan TUMPAS keras dan lugas, situasi selama kegiatan tetap aman dan kondusif. Petugas keamanan berjaga, wartawan meliput dengan tertib. Namun satu hal menjadi jelas: tekanan terhadap Polri dan pemerintah kini datang dari kalangan hukum sendiri.

TUMPAS bukan hanya ingin didengar. Mereka ingin bergerak. Mendorong, menekan, dan kalau perlu, menggugat ketidakberdayaan aparat terhadap kejahatan yang nyaris kasat mata.

Dalam penutupnya, Saor menegaskan, “Kami mendorong kepolisian, mendorong pemerintah, mendorong aparat penegak hukum… Negara tidak boleh kalah oleh preman!”


Apakah desakan ini akan direspons dengan tindakan nyata? Atau akan menjadi satu lagi gema yang menguap dari pelataran Trunojoyo?

Yang jelas, TUMPAS telah menyalakan api. Api yang bisa membakar ketakutan masyarakat, atau justru menghanguskan reputasi penegak hukum jika tetap diam. Premanisme telah menjadi penyakit kronis. Dan hari itu, para pengacara memutuskan untuk tak lagi meresepkan kata-kata. Mereka memilih berteriak.

Laporan Dani Prasetya | Editor: Mahar Prastowo