Papan Sirkuit Cetak (PCB) 



Oleh: Mahar Prastowo

LUGAS | Opini - Delapan. Angka genap, bentuknya simetris. Dua lingkaran sama besar, bertumpuk vertikal, seperti simbol keseimbangan. Namun, dalam kebijakan publik di Pulau Taliabu, angka delapan justru mencerminkan ketimpangan.

Ada delapan kepala desa yang dicabut masa jabatannya secara mendadak. Padahal mereka telah diperpanjang sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024. Di hari yang sama ketika mereka diberhentikan, genset yang oleh salah satu dari mereka pesan dengan dana desa sedang berlayar dari Makassar. Sudah dibayar. Sudah dikemas. Sudah diberi label tujuan: Bapenu dan sekitarnya.

Jabatan dicabut. Program terputus. Tapi uang rakyat yang dibelanjakan—tetap jalan. Tak bisa diretur. Tak bisa dibatalkan.

Apa yang kita lihat di sini bukan sekadar konflik interpretasi pasal dalam UU Desa. Ini adalah gejala klasik: pembangunan dipakai sebagai alat politik, bukan sebagai instrumen pelayanan.


Delapan Triliun dan Ketimpangan Pembangunan

Angka delapan juga muncul dalam konteks lain.

Gubernur Maluku Utara saat melantik Bupati baru, Sasabila Widya L Mus, menjanjikan pembangunan infrastruktur senilai delapan triliun rupiah. Proyek itu mencakup jembatan, jalan, sekolah rakyat, hingga dua kawasan industri.

Namun, delapan triliun itu, seperti juga delapan jabatan kades yang dihapus, hanya menunjukkan satu hal: betapa pembangunan di daerah tertinggal masih sangat elitis, sangat top-down, dan minim partisipasi.

Coba bandingkan:

  • Genset desa yang dibeli dengan dana desa: entah berhenti di mana dalam pelayarannya, karena kepala desanya diganti.

  • Sementara proyek delapan triliun dari pusat: tetap dilanjutkan meski belum tentu tahu di mana titik terang paling mendesak.

Ada paradoks di sini. Desa 'dilarang' menginisiasi listrik sendiri, tetapi juga tidak diberi kepastian kapan giliran mereka mendapat terang. Program besar dibanggakan di podium pelantikan, tetapi kebutuhan mikro diabaikan di ruang musyawarah.


Rasio Elektrifikasi dan Kualitas Layanan

Secara statistik, rasio elektrifikasi provinsi Maluku Utara ini memang sudah di atas 95%. Tapi angka itu hanya cocok dipajang di papan presentasi. Tidak semua warga bisa merasakan listrik yang benar-benar hidup—dalam arti menyala 24 jam tanpa was-was. 

Di desa-desa kepulauan seperti Taliabu, Obi, sampai pulau-pulau kecil di sekitar Halmahera, listrik bukan sekadar terang atau gelap. Tapi hidup atau mati. Masih banyak yang bergantung pada genset swadaya, solar langka, dan jam nyala yang dibatasi. Bahkan ada desa yang hanya dapat listrik dari jam 6 sore sampai 10 malam—dan itu pun belum tentu stabil. 

Infrastruktur? Masih bertumpu pada PLTD kecil. Interkoneksi belum kuat. Energi baru terbarukan? Wacana. Padahal potensi tenaga surya dan air di pegunungan Halmahera sangat besar. 

Jadi, saat seorang kepala desa seperti Junaedi berinisiatif menghadirkan genset untuk ratusan rumah warganya, itu bukan proyek kecil. Itu revolusi senyap. Ia tidak sedang menuntut negara, ia sedang mengisi kekosongan negara.

Tapi ternyata, niat baik tidak cukup. Lampunya belum sempat menyala, jabatannya sudah lebih dulu dipadamkan.


Ketimpangan Wilayah dan Indeks Williamson

Ketimpangan wilayah diukur menggunakan rumus Indeks Williamson, di mana pendapatan diukur dengan menggunakan PDRB per kapita atas dasar harga konstan tahun 2010. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai Indeks ketimpangan antar provinsi di Kawasan Timur Indonesia berada pada tingkat yang tinggi .


Pulau Taliabu: Sebuah Paradoks Pembangunan

Pulau Taliabu hanyalah satu contoh. Tapi ia mewakili banyak hal: soal relasi pusat-daerah, elite-lokal, rakyat-pembangunan.

Angka delapan mungkin terlihat indah di papan infografik. Tapi di dusun kecil seperti Bapenu, delapan hanya jadi angka di balik listrik yang belum menyala, program yang belum selesai, dan jabatan yang sudah padam.

Jika pemerintah serius dengan pembangunan berbasis desa, maka yang harus diperpanjang bukan cuma masa jabatan. Tapi juga daya hidup partisipasi lokal—agar angka delapan benar-benar jadi simbol keseimbangan, bukan sekadar putaran kuasa.


Saran Kebijakan

Untuk mengatasi ketimpangan yang mencolok antara kawasan barat dan kawasan timur, diperlukan:

  1. Peningkatan Partisipasi Lokal: Melibatkan masyarakat desa dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek pembangunan untuk memastikan kebutuhan lokal terpenuhi.

  2. Transparansi dan Akuntabilitas: Menetapkan mekanisme pengawasan yang ketat terhadap penggunaan dana desa dan proyek-proyek besar untuk mencegah penyalahgunaan dan memastikan efisiensi.

  3. Pemerataan Infrastruktur: Fokus pada pembangunan infrastruktur dasar di daerah tertinggal sebelum mengalokasikan dana untuk proyek-proyek besar yang mungkin tidak langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat lokal.

  4. Evaluasi Kebijakan: Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pembangunan yang telah dilaksanakan untuk menilai efektivitas dan dampaknya terhadap pengurangan ketimpangan.



Delapan Kepala Desa, dan Sebuah Alasan yang Tidak Pernah Dijelaskan

Delapan kepala desa itu sudah dilantik. Secara sah. Berdasarkan undang-undang yang baru: Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024. Bukan main-main. Bukan surat edaran. Tapi undang-undang.

Ada pasalnya. Ada nomornya. Ada amar hukumnya. Undang-undang itu memerintahkan masa jabatan kepala desa menjadi 8 tahun. Dan kepala desa yang masa jabatannya selesai awal tahun 2024, otomatis diperpanjang. Termasuk mereka yang delapan ini.

Yang melantik adalah bupati lama. Yang mengganti: bupati baru. Langsung. Tanpa evaluasi. Tanpa sidang etik. Tanpa musyawarah desa. Tanpa sepatah kata pun kepada yang diganti. Seperti menekan tombol: klik, ganti kepala desa. Seolah bukan manusia, hanya ID dalam sistem.

Salah satunya: Junaedi. Kepala Desa Bapenu.

Dia sedang kerja waktu itu. Bukan main catur. Bukan plesir ke kota. Ia sedang mengurus genset. Bukan proposal. Bukan seminar. Tapi genset sungguhan: besar, berat, mahal. Untuk apa? Untuk desanya. Untuk nyalakan listrik di ratusan rumah warga.

Bukan cuma genset. Kabel-kabel distribusi juga sudah dibeli. MCB untuk tiap rumah sudah dikemas. Semua sedang berlayar dari Makassar. Tapi belum sempat ia menyalakan lampu satu rumah pun, ia sudah dimatikan dari jabatannya.

Jabatan itu hilang. Tapi niatnya belum padam.

"Saya tidak tahu apa salah saya. Apakah undang-undang tidak berlaku lagi di kabupaten ini?" katanya. Ia bertanya, bukan menuduh. Bingung, bukan marah. Tapi saya sendiri justru yang marah dalam hati.

Delapan orang. Delapan desa. Delapan keluarga. Delapan program. Semua terputus hanya karena satu surat keputusan.

Dan tidak ada yang bisa menjawab: salah mereka di mana?

Bukan mereka yang tidak patuh hukum. Justru mereka menjalankan hukum. Yang melanggar siapa?

Mungkin ini hanya soal kuasa. Soal suka atau tidak suka. Tapi jika undang-undang bisa dibelokkan hanya karena jabatan berganti, lalu apa bedanya hukum dengan selera?

Yang jelas: genset itu masih berlayar. Tak tahu akan diturunkan di mana. Mungkin ikut tersesat bersama akal yang tidak sedang benar-benar sehat.


[mp]