LUGAS | Opini 

Oleh: Mahar Prastowo

Pemerintah kembali mengandalkan solusi instan untuk masalah struktural. Kali ini lewat program Koperasi Merah Putih, dengan target ambisius membentuk 80.000 koperasi di seluruh desa dan kelurahan. Dikasih baju nasionalisme, dibungkus jargon kerakyatan, dan dijajakan sebagai "jalan baru" memberdayakan ekonomi rakyat.

Namun, di balik kemasan politik populis itu, kita seharusnya berhenti sejenak dan bertanya: apakah ini solusi nyata, atau hanya substitusi palsu terhadap kebijakan yang sudah gagal?


Desa Bukan Tanah Kosong: Ada BUMDes di Sana

Banyak desa sudah memiliki BUMDes. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Desa dengan tujuan mendorong kemandirian ekonomi berbasis aset dan partisipasi warga. Lalu kenapa pemerintah pusat tiba-tiba datang membawa entitas baru?

Inilah contoh overlapping policy khas pemerintah kita. Tanpa evaluasi menyeluruh terhadap kinerja BUMDes, tiba-tiba dibuat kebijakan baru—tanpa landasan empiris, hanya demi memenuhi target politik atau proyek jangka pendek. Akibatnya? Distorsi kelembagaan. Alih-alih memperkuat institusi lokal yang ada, malah menciptakan konflik kewenangan di akar rumput.



Sumber Dana Belum Jelas, Skema Risiko (Masih) Gelap

Pemerintah tak terbuka soal dari mana uang untuk mendanai koperasi ini. Apakah hibah? Utang? Dana abadi? CSR BUMN?

Indikasi yang muncul justru mengarah ke utang luar negeri dan pembiayaan perbankan nasional, dibungkus dalam skema "dukungan pembiayaan koperasi". Jika benar, ini masalah serius. Karena koperasi berarti entitas lokal dengan SDM terbatas, manajemen lemah, dan minim akses ke literasi keuangan. Menempatkan mereka dalam posisi menanggung utang sama saja dengan membebani masyarakat paling rentan dengan risiko fiskal tersembunyi.

Dan jika terjadi gagal bayar, jangan kira pemerintah pusat yang akan disalahkan. Pengurus koperasi lokal akan jadi kambing hitam. Lagi-lagi rakyat kecil yang dikorbankan dalam eksperimen ekonomi tanpa perencanaan matang.


Apa Bedanya dengan BLBI Skala Mikro?

Mari kita bicara jujur. Ini bukan kebijakan ekonomi, tapi politik distribusi rente. Kalau sumber dananya adalah utang, dengan pengelolaan tak berbasis kelayakan usaha dan feasibility study yang serius, maka risiko gagal sistemik besar sekali.

Kita sudah punya preseden: BLBI, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, yang dulu digelontorkan tanpa kontrol, dan berujung menjadi beban APBN selama dua dekade. Kini, potensi BLBI versi mikro muncul dalam bentuk Koperasi Merah Putih. Skemanya sama: uang dikucurkan dulu, efisiensi dan akuntabilitas urusan nanti.


Rakyat Tidak Butuh Koperasi Baru, Tapi Kepastian Usaha

Yang dibutuhkan rakyat di desa dan kelurahan hari ini bukan entitas koperasi baru, melainkan kepastian akses pasar, reformasi agraria, infrastruktur logistik, dan perlindungan dari tengkulak serta predator pasar.

Masalah ekonomi lokal bukan kekurangan wadah kelembagaan, tapi buruknya koordinasi antar kebijakan. Desa sudah punya BUMDes, kelompok tani, koperasi simpan pinjam, koperasi peternak, dan entah apa lagi. Kita tidak butuh label baru. Kita butuh konsistensi dan keberpihakan nyata.


Jika Koperasi Gagal, Siapa Bertanggung Jawab?

Jika koperasi bangkrut karena manajemen buruk atau kebijakan terlalu dipaksakan dari atas, siapa yang bertanggung jawab?
Jawabannya, tidak ada. Seperti biasa, tanggung jawab menyebar dan menguap. Menteri bilang itu urusan dinas. Dinas bilang itu tanggung jawab koperasi. Koperasi bilang mereka hanya jalankan instruksi. Ini masih bagus jika kesalahan tidak sepenuhnya dibebankan ke pengurus. 

Sementara itu, rakyat akan kehilangan kepercayaan pada koperasi. Ini bukan hanya soal uang. Tapi soal kepercayaan sosial yang hancur. Dan ketika kepercayaan rakyat runtuh, seluruh fondasi ekonomi kerakyatan pun ikut ambruk.


Kesimpulan: Jalan Pintas yang Mahal

Koperasi Merah Putih adalah contoh bagaimana kebijakan ekonomi dirancang dari atas dengan logika proyek, bukan logika pembangunan. Tidak ada desain kelembagaan yang kokoh, tidak ada sistem akuntabilitas yang kuat, dan tidak ada strategi penguatan kapasitas lokal secara sistematis.

Dalam jangka pendek, program ini mungkin terlihat "pro-rakyat". Tapi dalam jangka panjang, ia berpotensi menimbulkan beban fiskal, konflik kelembagaan, dan kegagalan massal di tingkat akar rumput.

Perbaikan struktural yang lambat tapi berkelanjutan, akan lebih baik dibanding solusi instan yang dibungkus jargon kebangsaan.

Ekonomi tidak bisa dibangun dengan simbol dan seremoni. Ia harus ditopang oleh data, integritas, dan ketekunan.

Jika tidak, Koperasi Merah Putih akan menjadi tong kosong yang nyaring di awal, tapi sunyi dalam pertanggungjawaban.





(MP)