Perempuan yang dulunya dikenal aktif di lingkungan, kini berdiri di kursi terdakwa. Dengan kepala tertunduk dan mata menerawang, ia mendengarkan putusan itu. Di luar gedung pengadilan, seorang penasihat hukum bernama Antony Wenoh menyatakan sikap tegas: banding.
Dokumen yang Sudah Dibatalkan, Tapi Dipakai Lagi
Yang menjadi pertanyaan mendasar dalam perkara ini bukan siapa Lintje, tapi apa dokumen yang dipermasalahkan. Lintje dijerat karena dianggap memalsukan atau menyalahgunakan dokumen tanah, padahal dokumen itu — berdasarkan catatan Mahkamah Agung — sudah dibatalkan sejak 2010.
Putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung nomor 101/PK/TUN/2010 menyatakan bahwa Sertifikat HGB No. 2/Girian Indah Tahun 2004 atas nama Yayasan DD dan SHM No. 397 atas nama IPB tidak sah. Putusan lain dari PTUN Manado nomor 80/G/PTUN.MDO/2013 juga memperkuat posisi hukum yang menyatakan bahwa dasar-dasar kepemilikan atas tanah tersebut cacat yuridis.
Namun, yang mengejutkan: dokumen yang sudah dinyatakan tidak sah secara hukum justru dijadikan alat bukti oleh Jaksa Penuntut Umum dalam menjerat Lintje. Surat yang sudah mati — bangkit kembali — di meja sidang pidana.
Tanpa Bukti Forensik, Tanpa Pembanding
Sepanjang persidangan, menurut tim penasihat hukum, tidak pernah ditunjukkan bukti-bukti forensik yang membuktikan Lintje melakukan pemalsuan. Tidak ada hasil analisis tanda tangan. Tidak ada surat pembanding asli dari IPB. Bahkan register asli IPB — yang seharusnya menjadi kunci bukti — tidak dihadirkan di muka sidang.
Sementara itu, Undang-Undang mewajibkan adanya alat bukti sah dan lengkap untuk menersangkakan seseorang dalam kasus pemalsuan. Setidaknya, harus ada:
- Surat asli dan surat palsu sebagai pembanding
- Bukti forensik tanda tangan atau tulisan
- Saksi ahli yang menguatkan adanya pemalsuan
Dalam perkara ini, semuanya tidak ada. Yang ada hanyalah narasi hukum yang menggiring mantan lurah ke balik jeruji.
Celah Hukum di Atas Tanah yang Retak
Masalah agraria di Indonesia memang kerap menyimpan celah gelap. Tanah yang sudah dinyatakan tidak sah, bisa kembali muncul dalam bentuk lain. Sertifikat yang dibatalkan oleh pengadilan tetap tersimpan di kantor pertanahan. Bahkan tetap digunakan dalam transaksi atau, dalam kasus ini, sebagai dasar dakwaan pidana.
Ironi muncul ketika negara sendiri tidak menyinkronkan data antara pengadilan, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan kejaksaan. Akibatnya, individu bisa menjadi korban — dihukum karena menjalankan tugas administrasi atas dasar dokumen yang diterbitkan oleh lembaga resmi, tapi belakangan dianggap cacat hukum.
Aturan dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999 jelas: segala keputusan pemberian hak milik harus disampaikan secara tertulis dan tercatat. Tapi dalam kasus ini, tidak pernah dibuktikan ada surat resmi pemberian hak milik dari negara kepada pihak yang disebut memiliki lahan tersebut. Tidak di pengadilan TUN. Tidak di pengadilan perdata. Dan tidak pula di perkara pidana yang sedang berjalan.
Hukum yang Membingungkan
Pertanyaan publik pun mengemuka: jika sebuah surat sudah batal secara hukum, apakah bisa digunakan kembali untuk menghukum? Jika tidak ada bukti sahih tentang pemalsuan, apakah layak dijadikan dasar untuk menjatuhkan vonis?
Kasus ini bukan hanya tentang Lintje Sanger. Ini tentang wajah hukum agraria di Indonesia. Tentang tumpang tindih data, cacat administrasi, dan sistem yang bisa menjadikan aparat sipil seperti lurah sebagai kambing hitam — atas sesuatu yang berasal dari kebijakan yang lebih tinggi.
Banding sebagai Jalan Terakhir
Langkah banding kini menjadi jalan hukum yang diambil. Tim penasihat hukum berpegang pada prinsip bahwa vonis tersebut cacat logika, cacat bukti, dan cacat dokumen. Jika banding diterima, ini bisa menjadi preseden penting: bahwa hukum tidak boleh menghukum atas dasar surat yang sudah mati.
Di Balik Kasus Lintje
Kisah Lintje adalah gambaran kecil dari persoalan besar yang belum selesai di negeri ini: konflik pertanahan, lemahnya data kepemilikan, dan sistem hukum yang terlalu formalistik. Di banyak tempat lain, kasus serupa terus bermunculan — tanah yang diperebutkan, surat yang tumpang tindih, dan rakyat kecil yang terjerat karena tidak cukup kuat melawan sistem.
Dan di balik semua itu, masih tersisa pertanyaan lama yang belum dijawab: apa yang lebih kuat — kebenaran, atau surat?
Tidak ada komentar