LUGAS | BOBONG — Laut beriak tenang saat KM Elisabeth perlahan mendekat ke dermaga Bobong, Minggu pagi (08/06). Di atas kapal, berdiri sosok muda yang kini memikul harapan satu pulau: Shasabila Mus. Ia baru saja dilantik sebagai Bupati Pulau Taliabu. Dan pagi itu, Taliabu menyambutnya bukan sekadar dengan tangan terbuka, tapi juga dengan adat, haru, dan harapan.

Taliabu tak pernah sepi dari cerita. Dan hari itu, cerita baru dimulai.

Begitu kaki Shasabila menjejak tanah Bobong, suara tifa menyambut—menggema di antara semangat warga dan harum bunga yang dilempar ke arah dermaga. Inilah prosesi adat injak tanah, sebuah simbol yang hanya boleh dilakukan oleh pemimpin, ketika pertama kali tiba untuk menjalankan amanah di Bumi Hemungsia Sia Dufu. Dalam bahasa Taliabu: "Ngone pe tongka, tanah pe kasih sayang." (Orang yang melangkah, tanah yang memberi restu.)

Wakil Bupati La Ode Yasir menyambut dengan pelukan dan senyum yang dalam. Di belakangnya, ratusan warga berjejer membawa janji yang belum terucap: bahwa mereka percaya, dan mereka menunggu.

Tak lupa pula tarian cakalele, berderap gagah—seakan mewakili suara leluhur yang memberi izin kepada sang pemimpin. Ada kobaran di setiap gerakan penari: kobaran semangat yang selama ini tersimpan di sudut-sudut Taliabu, dari Tabona sampai Tikong, dari Kawalo hingga Kramat.

"Tabea, Bupati Shasabila," seru seorang tetua adat. Artinya: selamat datang, pemimpin kami. Kata itu bukan hanya ucapan, tapi sumpah adat.


Dari Jakarta ke Bobong

Sebelum menjejak Bobong, Shasabila tidak langsung pulang kampung. Ia terlebih dahulu menjalani safari kerja ke Ternate dan Jakarta. Tak tanggung-tanggung, ia menyambangi Balai Pelaksana Jalan Nasional, PT PLN, Telkomsel, BPK, hingga beberapa kementerian teknis. Ia datang dengan satu pertanyaan besar: “Bagaimana percepatan pembangunan di Taliabu bisa kita mulai sekarang juga?”

Di Ternate, ia bicara soal listrik dan sinyal—dua hal yang masih menjadi barang mewah di beberapa pelosok Taliabu.  Di Jakarta ia bicara soal distribusi logistik dan konektivitas antar-pulau. Ia tahu, pemerintah pusat hanya akan membantu kalau kepala daerahnya turun tangan langsung. Maka ia pun melangkah sendiri.

Di satu titik pertemuan, ia menyebutkan secara lugas: “Beta bukan cuma datang ambil janji, tapi datang mau tuntut janji pembangunan. Taliabu seng bisa tertinggal terus.”


Harapan di Ujung Timur

Kini, usai injak tanah dan sambutan meriah, pekerjaan berat telah menanti. Shasabila tahu, ini bukan pesta sambutan, ini aba-aba untuk mulai berlari.

Taliabu masih menyimpan tantangan lama: jalan yang belum tembus lintas kabupaten, sinyal yang putus-nyambung seperti harapan rakyat, dan listrik yang padam lebih sering daripada menyala. Tapi Taliabu juga menyimpan potensi: tanah subur, laut kaya, budaya luhur, dan masyarakat yang bersedia gotong royong.

Di hadapan warga, ia berjanji akan fokus pada tiga hal: perbaikan infrastruktur jalan, penguatan jaringan telekomunikasi, dan reformasi birokrasi.

"Beta mau birokrasi ini kerja dengan hati, bukan cuma duduk di meja. Pemerintah harus bisa ada di tengah rakyat, bukan di balik meja AC," katanya di hadapan tokoh masyarakat.

Di kampung-kampung, warga mulai berbincang. Di warung kopi, di atas perahu nelayan, di bawah pohon kelapa—nama Shasabila mulai disebut-sebut dengan nada penuh tanya sekaligus percaya.

"Seng penting ale jalan terus, jang cuma datang duduk-duduk di Bobong sana. Ini tanah penuh janji, tapi selama ini cuma jadi dongeng,” kata seorang ibu di desa Nggele sambil menanak sagu.


Jalan Masih Panjang

Shasabila tahu, sambutan hari ini bisa berubah jadi omelan esok hari, kalau pembangunan hanya berhenti di ucapan. Ia membawa nama besar Mus, tapi juga membawa nama dirinya sendiri—dan itu lebih berat. Ia muda, perempuan, dan kini ia satu-satunya harapan bagi tanah yang pernah merasa ditinggalkan.

Banyak yang skeptis. Tapi lebih banyak lagi yang diam-diam menaruh harap.

Ketika malam turun di Bobong, dan suara tifa mulai mereda, Shasabila memandang ke langit Taliabu. Tak ada lampu jalan yang terang benderang. Tapi di balik gelap itu, ia tahu: ribuan mata sedang menanti, ribuan langkah sedang berharap bisa berjalan bersama.

Di bumi Taliabu, setiap pemimpin harus tahu satu hal: “Ngone harus tau rasa, bukan cuma bisa bicara.”

Dan perjalanan itu, baru saja dimulai.


Tabea Bupati Baru, Taliabu Tagalaya!
Selamat datang Bupati Baru. Taliabu Maju!



Laporan Sumpono | Editor: Mahar Prastowo