Pengabaian Fakta Persidangan dan Potensi Konflik Kepentingan dalam Majelis DKPP Jadi Sorotan
LUGAS | Jakarta – Keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam perkara 122-PKE-DKPP/IV/2025 menuai sorotan tajam. Dua anggota Bawaslu Kota Jakarta Timur, Ahmad Syarifudin Fajar dan Prayogo Bekti Utomo, dijatuhi sanksi atas dugaan pelanggaran etik, padahal keduanya dinilai bertindak sesuai kewenangan dan prosedur hukum yang berlaku.
Putusan itu disebut-sebut dapat menciptakan preseden negatif bagi pengawasan pemilu di tingkat akar rumput.
“Jika pengawas yang berani mengungkap kecurangan justru disanksi, maka kita sedang menyuruh pengawas untuk diam dan membiarkan pelanggaran terjadi. Ini berbahaya bagi demokrasi kita,”— Dr. Widya Saptaningrum, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Paramadina.
Ahmad dan Prayogo, dalam sidang DKPP, membela diri bahwa langkah mereka mengungkap dugaan kecurangan di TPS 28 Kelurahan Pinang Ranti adalah bentuk pelaksanaan tugas pengawasan. Mereka mencatat adanya pencoblosan ilegal atas 19 surat suara oleh seorang pemilih yang tidak terdaftar, serta keberadaan anggota KPPS ilegal. Namun alih-alih mendapat dukungan atas temuan tersebut, keduanya justru disanksi.
Jejak Saksi Ahli dan Konflik Kepentingan
Kritik terhadap DKPP tak berhenti di substansi perkara. Keberadaan anggota Majelis Pemeriksa, Dr. Didik Suhariyanto, turut disorot. Didik diketahui pernah menjadi saksi ahli meringankan dalam perkara pidana Reyvana Helaha — istri dari Pengadu perkara ini — di PN Jakarta Timur. Dalam kasus itu, Ahmad dan Prayogo merekomendasikan sanksi pidana kepada Reyvana, berseberangan dengan kesaksian ahli dari Didik.
Pada sidang DKPP 27 Mei 2025, kedua Teradu menyatakan menolak menjawab pertanyaan dari Didik. Didik sendiri akhirnya tidak mengajukan pertanyaan kepada para Teradu. Namun, keberatan tertulis yang diajukan Ahmad dan Prayogo tidak ditanggapi DKPP.
“Tidak seharusnya seseorang yang pernah memberikan keterangan menguntungkan bagi pihak yang sekarang menjadi Pengadu ikut memeriksa perkara ini. Ini pelanggaran etik serius dan melanggar prinsip ‘tidak memeriksa perkara yang berpotensi konflik kepentingan,’”— Prof. (HC) M. Rizal Siregar, Mantan Anggota DKPP dan Konsultan Etika Pemilu ASEAN.
Fakta-Fakta yang Dikesampingkan
Dalam pembelaannya, kedua pengawas membeberkan fakta-fakta pelanggaran serius di TPS 28. Mereka mengklaim telah mencatatnya dalam Lembar Kejadian Khusus (LKK), termasuk penyembunyian surat suara tercoblos oleh Ketua KPPS, serta upaya PPK Kecamatan Makasar yang ingin menggolongkan 18 surat suara ilegal sebagai surat suara rusak.
Proses penghitungan suara disebut tidak pernah dihentikan, melainkan tetap berlangsung hingga malam hari, saat kotak suara dikirim. Namun, semua itu tidak menjadi pertimbangan utama dalam putusan DKPP.
“Ketika fakta-fakta lapangan yang sangat jelas justru tidak dijadikan dasar putusan, maka proses etik berubah menjadi prosedur formalistik yang membutakan diri dari realitas,”— Titi Anggraini, Dosen Hukum Pemilu Universitas Indonesia dan Dewan Pembina Perludem.
Pelaku Utama Tak Tersentuh
Ironi mencuat ketika pihak yang dianggap paling bertanggung jawab atas kekacauan di TPS 28—yakni KPPS, PPS, PPK, hingga KPU Jakarta Timur—tidak tersentuh oleh sanksi etik maupun evaluasi administratif. Padahal mereka adalah pihak teknis yang memproses rekapitulasi tanpa mengindahkan laporan pelanggaran dari pengawas.
“Ketika pelaku utama pelanggaran justru dibiarkan, sementara pengawas yang menjalankan tugasnya dihukum, maka kita menyaksikan kemunduran etika dalam penyelenggaraan pemilu,”— Dr. Zainal Arifin Mochtar, Dosen Hukum Tata Negara UGM dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi.
Menuju Gugatan PTUN
Tak tinggal diam, kedua Teradu menyatakan akan menempuh jalur hukum dengan menggugat putusan DKPP ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Mereka menyebut langkah ini sebagai perlawanan terhadap upaya kriminalisasi terhadap tugas pengawasan pemilu.
“Kami tidak akan berhenti menyuarakan kebenaran dan menegakkan integritas pemilu. Pengawasan adalah benteng terakhir demokrasi. Jika pengawas yang jujur justru disanksi, maka kita sedang menciptakan lubang besar dalam sistem demokrasi kita,”
— Ahmad Syarifudin Fajar dan Prayogo Bekti Utomo, Teradu dalam perkara 122-PKE-DKPP/IV/2025.
Catatan:
Redaksi terbuka terhadap klarifikasi pihak DKPP dan KPU Kota Jakarta Timur untuk memberikan tanggapan atas keberatan para Teradu serta tudingan konflik kepentingan dalam proses pemeriksaan perkara ini. Laporan ini akan diperbarui bila telah didapatkan klarifikasi resmi.
Redaksi terbuka terhadap klarifikasi pihak DKPP dan KPU Kota Jakarta Timur untuk memberikan tanggapan atas keberatan para Teradu serta tudingan konflik kepentingan dalam proses pemeriksaan perkara ini. Laporan ini akan diperbarui bila telah didapatkan klarifikasi resmi.
Tidak ada komentar