Angriani, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Taliabu (HMT) Cabang Ternate


LUGAS | TERNATE — Polemik hilangnya nama Pulau Taliabu dalam ringkasan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Maluku Utara 2025–2029 yang dibacakan di forum resmi paripurna DPRD memicu kritik tajam dari kalangan mahasiswa. Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Taliabu (HMT) Cabang Ternate, Angriani, menilai tudingan “fitnah” yang dilontarkan Kepala Bappeda Maluku Utara, Dr. Muhammad Sarmin, terhadap anggota DPRD Mislan Syarif, tidak hanya keliru, tetapi juga mengancam ruang demokrasi.

“Kami menilai tudingan tersebut tidak hanya keliru dan tidak proporsional, tetapi juga berbahaya bagi keberlangsungan ruang demokrasi yang sehat,” ujar Angriani saat konferensi pers, Jumat (1/8/2025).

Menurut Angriani, apa yang disampaikan Mislan Syarif bukan sekadar opini, melainkan kritik yang berbasis data. “Fakta bahwa Pulau Taliabu tidak disebutkan sama sekali dalam dokumen ringkasan RPJMD yang dibacakan dalam sidang paripurna DPRD,” tegasnya. “Itu bukti konkret dan dapat diverifikasi publik.”


Anggota DPRD Maluku Utara Mislan Syarif


Pernyataan ini muncul sebagai respons atas pernyataan Kepala Bappeda Malut, Muhammad Sarmin, yang meminta Mislan Syarif “jangan umbar fitnah” terkait isu Taliabu, seperti dikutip dari laman Haliyora.id (30/7/2025). Sarmin menegaskan, Taliabu tetap tercantum dalam dokumen lengkap RPJMD setebal 291 halaman.

Namun, bagi HMT, substansi kritiknya bukan soal kehadiran di dokumen teknis, melainkan absennya Taliabu dalam ringkasan narasi pembangunan resmi yang dibacakan dalam sidang paripurna DPRD Provinsi. “Permasalahan ini menyangkut pengakuan politik, representasi simbolik, dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat Taliabu sebagai bagian sah dari Maluku Utara,” jelas Angriani.


Kritik Bukan Fitnah, Ketimpangan Bukan Ilusi

Angriani menegaskan, menyuarakan ketimpangan bukanlah tindak kriminal. “Sebaliknya, menutup-nutupi ketimpangan struktural dengan retorika teknokratik justru merupakan bentuk pengingkaran terhadap prinsip keadilan sosial,” katanya.

Pernyataan senada juga datang dari Pardin Isa, anggota DPRD Provinsi Maluku Utara dari dapil Sula–Taliabu. Ia menyebut Taliabu tetap ada di dokumen lengkap RPJMD karena indeks daya saing dan indikator pembangunannya masih rendah. Namun, HMT menilai penjelasan ini belum menjawab inti kritik publik.

“Jika memang Taliabu menjadi perhatian utama karena ketertinggalannya, mengapa tak disebut sama sekali dalam forum resmi setingkat paripurna?” tanya Angriani.


RPJMD dan Urgensi Keadilan Pembangunan

RPJMD merupakan dokumen perencanaan pembangunan menengah daerah yang memuat arah kebijakan untuk lima tahun ke depan. Penyusunannya mengacu pada:
  1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
  2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
  3. Permendagri Nomor 86 Tahun 2017
  4. RPJPD (20 tahun), RPJMN, serta visi-misi kepala daerah terpilih

Selain sebagai dokumen teknokratik, RPJMD juga memuat dimensi politik dan simbolik. Kehadiran nama wilayah dalam narasi resmi menjadi bentuk pengakuan, penting untuk memelihara rasa keadilan dan kebersamaan sebagai satu provinsi.


Empat Tuntutan Mahasiswa Taliabu

Sebagai bagian dari sikap resmi, HMT Cabang Ternate mendesak:
  1. Kepala Bappeda Provinsi Maluku Utara segera mencabut tudingan “fitnah” terhadap Mislan Syarif dan meminta maaf secara terbuka.
  2. Pemerintah Provinsi Maluku Utara memberikan klarifikasi publik mengapa Taliabu tidak dicantumkan dalam ringkasan RPJMD yang disampaikan di forum paripurna.
  3. Revisi narasi pembangunan daerah agar Taliabu disebut secara eksplisit dan proporsional.
  4. Pengakuan politik dan keberpihakan pembangunan bagi Taliabu sebagai hak yang setara.
“Kami tidak menuntut belas kasihan. Kami menuntut pengakuan, keadilan, dan keberpihakan. Karena kami adalah bagian sah dari Maluku Utara,” tutup Angriani. 


Laporan: Sumpono | Editor: Mahar Prastowo