LUGAS | Jakarta – Dua dekade lebih setelah pembunuhan Munir Said Thalib, kasus kematian pejuang hak asasi manusia itu tetap menggantung. Senin siang, 8 September 2025, sekitar 30 orang dari Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendatangi kantor Komnas HAM di Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat.
Dengan satu mobil pikap berisi pengeras suara dan sejumlah poster, massa menuntut kejelasan: kapan negara benar-benar mengungkap dalang pembunuhan Munir?
Spanduk yang mereka bentangkan tak berpanjang kata:
“Usut Tuntas! 21 Tahun Kasus Munir,”
“Negara Masih Membiarkan Dalang Pembunuhan Munir Berkeliaran,”
hingga “Munir Dibunuh Negara.”
Suara dari Pengeras Suara
Dari atas mobil komando, Usman mengingatkan bahwa upaya hukum kasus Munir sudah terlalu lama tersendat. “Jaksa Agung harus meninjau kembali, kepolisian harus melakukan investigasi baru,” katanya. Ia menyindir penyelidikan Komnas HAM yang sudah berjalan lebih dari dua tahun namun tak kunjung menghasilkan kepastian.
Aktivis muda, Dimas Bagus Arya, menambahkan: “Tiga tahun berturut-turut kami datang ke Komnas HAM, tapi jawabannya selalu tidak memuaskan. Komnas HAM ini digembosi karena dipilih oleh DPR yang sarat tekanan politik.”
Sementara Wira dari Imparsial menyebut kasus Munir hanya diputar-putar. “Alih-alih mencari keadilan, negara justru menutupinya. Hingga kini titik buntu saja yang kami temukan,” ujarnya.
Suara paling emosional datang dari Astri, aktivis perempuan yang menyebut Munir sebagai “sosok humanis, garda terdepan para korban.” Ia menuding negara, termasuk Badan Intelijen Negara, tak pernah bertanggung jawab. “Komnas HAM seharusnya berdiri di sisi korban, bukan di sisi penguasa,” katanya.
Komnas HAM Menjawab
Sekitar pukul 12.52 WIB, Ketua Komnas HAM Anis Hidayah keluar menemui massa bersama dua pejabat lembaga itu, Pardianto dan Saurin. Dialog berlangsung di depan gerbang, dalam suasana yang tetap kondusif.
“Kami sudah menandatangani surat untuk KASUM terkait perkembangan penyelidikan,” kata Anis. Ia menegaskan kembali: “Munir tidak meninggal. Munir dibunuh.”
Pernyataan itu disambut tepuk tangan massa, meski belum menyingkirkan rasa curiga mereka. Dimas meminta Komnas HAM membuat pernyataan resmi soal tenggat penyelidikan. “Kami ingin deadline ditetapkan pada 8 Desember, tanggal lahir Cak Munir,” ujarnya.
Anis tak menolak gagasan itu. “Silakan berikan deadline. Kami berkomitmen untuk menuntaskan penyelidikan pro justitia ini,” katanya.
Jalan Panjang ke Keadilan
Pukul 13.12 WIB, perwakilan massa menyerahkan surat resmi berisi tuntutan kepada Anis Hidayah. Delapan menit kemudian, pertemuan bubar. Massa perlahan meninggalkan kantor Komnas HAM.
Namun, pertanyaan lama kembali menggantung: sejauh apa negara bersedia membuka kebenaran kasus ini?
Sejak Munir diracun arsenik dalam penerbangan Garuda menuju Amsterdam pada 7 September 2004, proses hukum hanya menyeret pilot Pollycarpus Budihari Priyanto sebagai eksekutor. Dugaan keterlibatan pejabat intelijen tak pernah benar-benar diproses tuntas.
Dua puluh satu tahun berselang, bayang-bayang ketidakadilan itu masih menyelimuti. “Munir ada dan berlipat ganda,” tulis salah satu poster yang ditinggalkan di pagar Komnas HAM.
Laporan: Dani Prasetya | Editor: Mahar Prastowo
Tidak ada komentar