LUGAS | Jakarta - Jaringan Women, Peace and Security (WPS) Indonesia yang beranggotakan 82 organisasi perempuan dari Aceh hingga Papua, menyampaikan keprihatinan atas penangkapan tiga perempuan pasca rangkaian aksi demonstrasi 25 Agustus–11 September 2025.
Dalam pernyataan pers, Minggu (21/9/2025), jaringan tersebut menegaskan dukungan terhadap Komnas Perempuan yang menilai tindakan aparat mencederai hak konstitusional warga dalam menyampaikan pendapat secara damai sebagaimana dijamin UUD 1945.
Presidium Jaringan WPS Indonesia, Ruby Kholifah, menyebut tiga perempuan berinisial L, F, dan G ditangkap secara nonprosedural serta dipaksa menandatangani surat pengakuan sebagai tersangka. Ia menilai praktik tersebut melanggar mandat undang-undang, termasuk Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang perempuan berhadapan dengan hukum.
“Penangkapan nonprosedural terhadap perempuan pembela HAM adalah ancaman serius bagi demokrasi di Indonesia,” kata Ruby.
Ia menambahkan, pola represi tidak hanya terjadi di lapangan, tetapi juga di ruang digital. Bentuknya antara lain serangan berbasis gender, penyebaran hoaks, doxing, hingga penggunaan pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Jaringan WPS mendesak Kepala Kepolisian RI mengabulkan usulan penangguhan penahanan terhadap ketiga perempuan tersebut. Selain itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) diminta memastikan perlindungan hukum serta layanan pemulihan psikososial bagi korban dan keluarganya.
Mereka juga meminta Komnas Perempuan melanjutkan pemantauan pelanggaran HAM sekaligus memperkuat advokasi kebijakan yang melindungi ruang demokrasi. Adapun Kementerian Informasi dan Digital didesak meninjau ulang UU ITE agar tidak digunakan sebagai alat kriminalisasi warga, sekaligus menjamin kebebasan berekspresi di ruang digital.
Menurut Ruby, penangguhan penahanan tidak menghalangi proses hukum, tetapi memastikan keadilan ditegakkan secara proporsional. Ia mengingatkan, Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) melalui UU Nomor 7 Tahun 1984, memiliki kewajiban melindungi perempuan dari perlakuan diskriminatif.
“Negara harus segera menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan warga sipil serta menunjukkan komitmen nyata terhadap demokrasi, keadilan gender, dan perlindungan hak asasi manusia,” ujarnya.
Tidak ada komentar