Air Bukan Komoditas, Warga Miskin Kota Tuntut Akses Adil
LUGAS – Jakarta
Puluhan warga yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) Jakarta) berkumpul di depan Gedung DPRD DKI Jakarta, Selasa (10/9/2025) pagi. Mereka membawa spanduk bertuliskan “Air adalah HAM” dan “Tolak Privatisasi Air Jakarta”. Selama lebih dari tiga jam, suara mereka menggema di Jalan Kebon Sirih, menuntut agar rencana perubahan bentuk badan hukum PAM Jaya menjadi perseroan terbatas dibatalkan.
“Kalau PAM Jaya jadi PT, logika bisnis akan menguasai. Air bukan lagi pelayanan publik, melainkan ladang keuntungan,” teriak Nafisa, salah satu orator aksi.
Bagi warga miskin kota, perubahan ini bukan sekadar isu teknis. Mereka menilai, pengalaman Jakarta selama 25 tahun di bawah privatisasi air membuktikan kegagalan. Menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2023, cakupan layanan air di Jakarta stagnan di angka 65 persen. Warga yang tinggal di permukiman informal, tanpa sertifikat tanah, tidak mendapat sambungan resmi, sehingga terpaksa membeli air dari pihak ketiga dengan harga lebih mahal.
“Air itu jantung kehidupan. Kalau dijadikan bisnis, yang pertama dikorbankan adalah orang miskin,” tambah Aris, perwakilan JRMK yang mengingatkan bahwa kontrak konsesi swasta sejak 1997 membuat banyak kampung kota tersisih dari layanan dasar.
Sekitar pukul 11.00, perwakilan massa diterima dalam audiensi oleh Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Basri Baco, bersama sejumlah anggota dewan lintas fraksi. Dalam forum itu, perwakilan JRMK menyampaikan keluhan langsung: kampung-kampung padat di Muara Angke, Penjaringan, hingga Jakarta Timur masih bergantung pada air isi ulang dengan harga tinggi.
“Di kampung kami, PAM sudah dicabut, padahal tagihan tetap datang. Kami terpaksa beli air galon setiap hari,” ungkap Herdayani, ibu rumah tangga yang ikut dalam pertemuan.
Mereka menuntut agar PAM Jaya tetap berbentuk Perusahaan Umum Daerah (Perumda) dengan subsidi dari APBD. Dengan begitu, akses air bersih bisa lebih merata, dan tarif lebih proporsional sesuai kemampuan warga.
Menanggapi hal itu, Basri Baco menegaskan bahwa usulan perubahan badan hukum PAM Jaya belum berarti privatisasi. “Mayoritas saham tetap di tangan Pemprov DKI. Kami pastikan tidak ada niat menjual ke swasta,” ujarnya. Namun ia mengakui, sebelum pembahasan raperda dilanjutkan, DPRD harus meninjau langsung kondisi lapangan. “Tarif di Penjaringan tidak bisa disamakan dengan Menteng. Harus ada keadilan sosial,” kata Basri.
Jejak Panjang Privatisasi
Sejak 1997, pengelolaan air Jakarta dibagi antara PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) di wilayah barat dan PT Thames PAM Jaya (kemudian Aetra) di wilayah timur. Sistem itu berlangsung hingga 2023, ketika pemerintah memutus kontrak dengan swasta dan mengembalikan kendali penuh kepada PAM Jaya. Namun, menurut JRMK, luka sosial dari dua dekade lebih privatisasi masih terasa.
Tarif mahal, layanan kerap terputus, kualitas air buruk, dan negara ditaksir merugi triliunan rupiah. Sementara perusahaan swasta tetap memperoleh keuntungan. Karena itu, rencana menjadikan PAM Jaya berbadan hukum perseroan dianggap rawan mengulang kesalahan masa lalu.
Dimensi Regulasi dan Anggaran
Raperda perubahan PAM Jaya menjadi perseroan terbatas sejatinya merupakan bagian dari penyesuaian hukum dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 54 Tahun 2017 tentang BUMD. Regulasi pusat mendorong perusahaan daerah agar lebih fleksibel dalam mencari modal, termasuk membuka peluang investasi.
Namun di sisi lain, air merupakan sektor yang diatur ketat. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 menegaskan bahwa air tidak boleh sepenuhnya diserahkan ke mekanisme pasar, melainkan harus dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Di ranah politik anggaran, perubahan status hukum PAM Jaya berpotensi memengaruhi skema subsidi APBD. Jika berbentuk perseroan terbatas, subsidi harus diperlakukan sebagai “penyertaan modal” atau “subsidi tarif” yang tunduk pada aturan korporasi. Hal ini bisa mempersempit ruang kebijakan pemerintah daerah untuk menyalurkan subsidi langsung, terutama bagi warga miskin kota.
“Risiko yang paling besar adalah jika subsidi berkurang, tarif bisa naik. Dan itu langsung memukul kelompok rentan,” ujar seorang pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia yang dimintai tanggapan terpisah.
Air sebagai Hak Dasar
Di ujung aksi, massa menegaskan kembali sikap mereka: air adalah hak asasi manusia yang harus dijamin negara. Mereka menolak air diperlakukan sebagai komoditas dagang.
“Kami di sini bukan sekadar menolak raperda. Kami menuntut negara hadir. Subsidi APBD harus menjamin air murah dan adil bagi semua warga Jakarta,” kata Minawati, koordinator aksi.
Sekitar pukul 12.20, setelah menyampaikan aspirasi dan berfoto bersama, massa membubarkan diri dengan tertib. Namun, pesan mereka masih bergema di halaman DPRD: air untuk hidup, bukan untuk keuntungan.
Laporan: Dani Prasetya | Editor: Mahar Prastowo
Tidak ada komentar