LUGAS | Jakarta – Ruang pertemuan Gedung YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (6/9/2025) siang, dipenuhi wajah-wajah tegang. Sekitar 20 orang dari kalangan organisasi masyarakat sipil, pengacara, dan aktivis hak asasi manusia hadir dalam konferensi pers yang digelar Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD). Mereka menyuarakan satu hal: penghentian kriminalisasi terhadap Del Pedro Marhaen dan sejumlah aktivis lain yang dituduh sebagai penghasut dalam gelombang protes akhir Agustus lalu.

“Kami menilai tuduhan ini keji dan tidak berdasar,” kata Fian dari Lokataru Foundation, yang bertindak sebagai penanggung jawab acara. Ia memaparkan kronologi penangkapan Pedro pada Senin malam, 1 September. Menurutnya, sejumlah orang berpakaian sipil datang ke kantor Lokataru, mengaku dari Polda Metro Jaya, lalu membawa Pedro tanpa surat penangkapan yang jelas.

Pedro, lanjut Fian, sempat meminta pendampingan hukum, tetapi ditolak. Bahkan, saksi menyebut ada tindakan intimidatif dan penggeledahan ruangan tanpa izin. “Beberapa dokumen hilang, barang-barang pribadi seperti buku, spanduk, hingga pakaian dalam ikut disita,” ujarnya.

 
Empat Pola Kriminalisasi

Nena, salah satu anggota tim advokasi, menegaskan bahwa kasus ini memperlihatkan pola kriminalisasi yang berulang. Pertama, penetapan tersangka tanpa pemanggilan resmi. Kedua, penangkapan yang dilakukan secara terburu-buru. Ketiga, pemeriksaan yang menitikberatkan pada aktivitas media sosial. Keempat, pelanggaran hak-hak dasar, termasuk terhadap penyandang disabilitas.

“Pertanyaan yang diajukan polisi berkutat soal kolaborasi postingan di Instagram. Padahal, itu praktik lumrah bagi organisasi masyarakat sipil,” katanya. Ia khawatir setiap orang bisa sewaktu-waktu dijemput paksa hanya karena aktivitas digitalnya.

 
Pasal yang Dipaksakan

Maruf Bajamal, perwakilan TAUD, menyoroti pasal-pasal pidana yang dikenakan. Del Pedro dan kawan-kawan dijerat dengan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, pasal-pasal dalam UU Perlindungan Anak, serta UU ITE. Menurut Maruf, penerapan pasal itu tidak proporsional dan terkesan dipaksakan.

“Putusan MK menegaskan, penghasutan harus terbukti menimbulkan kerusuhan nyata. Dalam kasus ini, yang dijadikan dasar hanyalah unggahan di media sosial,” katanya.


Hak yang Direpresi

Sekar, aktivis perempuan yang juga anggota tim, mengingatkan bahwa konstitusi menjamin kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapat. “Namun polisi memberi label semua demonstran sebagai perusuh. Itu sangat bermasalah,” ucapnya. Ia menilai kriminalisasi ini berbahaya bagi demokrasi karena melahirkan efek takut (chilling effect) di masyarakat.

Senada, Fadhil menegaskan bahwa tindakan aparat lebih menyerupai pencarian kambing hitam ketimbang upaya mencari kebenaran. “Penegakan hukum yang ada saat ini prematur, serampangan, dan lebih kental agenda politik dibanding keadilan,” katanya.


Ancaman bagi Demokrasi

Konferensi pers ditutup dengan seruan agar pemerintah dan kepolisian menghentikan praktik kriminalisasi. “Jika dibiarkan, kasus ini bisa merusak kredibilitas kerja-kerja advokasi, mengancam kebebasan sipil, dan menimbulkan ketakutan publik untuk bersuara,” ujar Maruf.

TAUD menuntut penegakan hukum yang transparan, proporsional, dan selaras dengan prinsip hak asasi manusia. “Demokrasi tidak akan pernah ada jika orang-orang yang bersuara terus ditekan,” kata Sekar, menutup konferensi pers.


Laporan: Dani Prasetya | Editor: Mahar Prastowo