Aksi Mimbar Bebas untuk Munir dan Kritik Atas Legitimasi Kekerasan Aparat



LUGAS | Jakarta - Senja baru saja turun di bilangan Pondok Labu, Jakarta Selatan, ketika puluhan mahasiswa berpakaian hitam berkumpul di depan gerbang Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Senin (8/9). Mereka menggelar mimbar bebas bertema getir: “Tunduk tertindas atau bangkit melawan, sebab mundur adalah penghianatan #MenggugatDosanegara.”

Di balik pagar kampus, sekitar lima puluh mahasiswa berangsur keluar. Poster bertuliskan “7 September Mengenang Munir” menjadi penanda bahwa aksi ini bukan sekadar ritual tahunan, melainkan penegasan sikap: kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib masih jadi luka terbuka bangsa.

“Munir dibunuh, tapi namanya terus bergema dalam setiap perjuangan kita melawan ketidakadilan,” teriak seorang orator dari atas pagar. Suaranya menggema, mengundang pekik balasan: “Hidup Mahasiswa!”


Dosa yang Belum Lunas

Orasi mahasiswa menyorot kegagalan negara menuntaskan kasus Munir. Dua dekade lebih berlalu, namun aktor intelektual pembunuhan itu tak pernah benar-benar diungkap. “Ini membuktikan negara memiliki dosa yang belum selesai sampai hari ini,” ujar salah satu mahasiswa.

Tak hanya masa lalu yang mereka suarakan. Mahasiswa juga mengaitkan luka lama itu dengan peristiwa represif aparat terhadap demonstrasi di DPR RI sehari sebelumnya. Mereka menegaskan, meski aksi dilakukan tanpa kekerasan dan anarkisme, represivitas justru menjadi balasan.

Yang lebih membuat mahasiswa gusar, kata mereka, Presiden Prabowo Subianto memberi kenaikan pangkat kepada aparat yang dianggap bertanggung jawab. “Artinya negara melegitimasi tindak represif itu,” ucap seorang orator. Nama Affan Kurniawan, mahasiswa yang menjadi korban, disebut sejajar dengan Munir—korban negara yang tak pernah mendapat keadilan.


Ritual, Perlawanan, dan Ingatan

Aksi berlangsung relatif singkat: mulai pukul 17.00 mahasiswa berkumpul, lalu pukul 18.15 mimbar bebas dimulai. Sekitar satu setengah jam kemudian, mereka bubar dengan tertib. Situasi aman, tanpa bentrokan.

Namun di balik keteraturan itu, aksi ini menyimpan makna simbolis. Pakaian serba hitam, pekik orasi, hingga penyebutan “dosa negara” merupakan pernyataan keras bahwa generasi mahasiswa kini mewarisi ingatan kritis tentang Munir dan korban lainnya.


Menolak Dilupakan

Dua puluh satu tahun lalu, 7 September 2004, Munir diracun dalam penerbangan menuju Amsterdam. Ia pergi membawa idealisme HAM, tetapi kembali sebagai simbol perlawanan yang tak padam.

Di gerbang kampus UPNVJ malam itu, mahasiswa mencoba mengingatkan publik: keadilan bukan sekadar perkara hukum yang macet, melainkan persoalan moral bangsa. “Hari ini Munir, kemarin Affan, besok bisa jadi kita semua,” ujar seorang orator menutup orasi.

Ingatan itu, tampaknya, tak akan mudah dibungkam—sebab sejarah selalu menemukan pewarisnya di jalanan.



Laporan: Dani Prasetya | Editor: Mahar Prastowo