Lehernya bolong. Tapi semangatnya tidak.
Daniel, seorang penyintas kanker tenggorokan akibat rokok, kini hidup dengan sebuah lubang kecil di bawah pita suaranya. Dari lubang itu, ia bernapas — sekaligus berbicara dengan suara serak yang terdengar seperti peringatan dari masa depan.
“Dulu saya pikir rokok cuma bikin batuk,” katanya pelan, menutup lehernya dengan kain kasa. “Sekarang saya harus bernapas lewat sini. Nikotin yang bikin begini.”
Ia bukan warga Kebon Pala, tapi hari itu — Rabu, 15 Oktober 2025 — ia datang ke RW 01 dalam Pencanangan Kampung Tanpa Rokok & Kampung Siaga TBC, sebagai saksi hidup. Sebagai bukti bahwa asap bukan hanya urusan bau dan kebiasaan, tapi juga urusan hidup dan mati.
Sehari Sebelumnya: Dua Remaja dan Sebuah Realitas
Sehari sebelum acara pencanangan, tim Puskesmas Kecamatan Makasar dan Puskesmas Pembantu Kelurahan Kebon Pala turun langsung ke lapangan. Bersama Lurah Kebon Pala dan jajaran, BAZNAS Bazis Jakarta Timur, Ketua RW 01 beserta ketua RT, dan kader kesehatan, mereka mengunjungi dua pasien muda.
Kunjungan itu dipimpin dr. Tumpak Benny Aurexion — Kepala Puskesmas Pembantu Kebon Pala yang akrab disapa dr. Benny.
Pasien pertama, seorang remaja perempuan penderita TBC paru, duduk di ruang tamu yang pengap. Nafasnya masih berat, tapi matanya menatap penuh harapan.
Rumah kedua lebih menyayat. Di dalam kamar sempit itu, seorang remaja lainnya terbaring lemah akibat TBC tulang. Tubuhnya kurus, sendinya kaku, dan sesekali ia menjerit kesakitan. Anak ini lumpuh akibat infeksi TBC yang menjalar ke tulang.
Tim ingin memastikan pengobatan berjalan, kondisi lingkungan diperbaiki, dan pasien mendapat dukungan gizi. Karena TBC bukan cuma penyakit, tapi soal ketahanan sosial.
Tim membawa obat dan bantuan makanan bergizi tambahan sebagai bentuk perhatian. Dari perbincangan selama penelusuran pasien melalui gang-gang sempit bersama dokter Benny, terungkap satu kesimpulan: Nutrisi adalah separuh dari pengobatan.
Kunjungan itu dipimpin dr. Tumpak Benny Aurexion — Kepala Puskesmas Pembantu Kebon Pala yang akrab disapa dr. Benny.
Pasien pertama, seorang remaja perempuan penderita TBC paru, duduk di ruang tamu yang pengap. Nafasnya masih berat, tapi matanya menatap penuh harapan.
Rumah kedua lebih menyayat. Di dalam kamar sempit itu, seorang remaja lainnya terbaring lemah akibat TBC tulang. Tubuhnya kurus, sendinya kaku, dan sesekali ia menjerit kesakitan. Anak ini lumpuh akibat infeksi TBC yang menjalar ke tulang.
Tim ingin memastikan pengobatan berjalan, kondisi lingkungan diperbaiki, dan pasien mendapat dukungan gizi. Karena TBC bukan cuma penyakit, tapi soal ketahanan sosial.
Tim membawa obat dan bantuan makanan bergizi tambahan sebagai bentuk perhatian. Dari perbincangan selama penelusuran pasien melalui gang-gang sempit bersama dokter Benny, terungkap satu kesimpulan: Nutrisi adalah separuh dari pengobatan.
Kampung yang Menolak Asap
Keesokan harinya, aula sekretariat RW 01 disulap menjadi arena edukasi bagi kader kesehatan. Warga berkumpul untuk mengikuti Sosialisasi dan Pencanangan Kampung Tanpa Rokok & Kampung Siaga TBC.
Acara dibuka oleh Sekretaris Camat Makasar, Ompu M. Taufik.
“Boleh merokok, tapi di ruang khusus. Jangan di kantor. Jangan di tempat umum,” katanya dengan gaya bersahabat tapi tegas.
“Kita dukung bersama agar TBC di wilayah kita berkurang. Karena kalau merokok di tempat umum, orang di sekitarnya jadi korban — perokok pasif. Catat, unggah ke medsos, biar semua tahu. Kita semua kader kesehatan.”
Kata-kata itu tidak berhenti di aula. Warga mengangguk. Ada yang tumbuh, yaitu kesadaran baru untuk merokok pada tempat yang tidak mengganggu orang lain. Ada juga yang ingin berhenti merokok.
Ketika Data Menjadi Alarm
Setelah sambutan Sekcam, giliran dr. Laura Astrid dari Puskesmas Kebon Pala memaparkan data.
“Rokok bukan hanya menyebabkan kanker. Ia juga merusak jaringan paru dan menurunkan daya tahan tubuh, sehingga bakteri Mycobacterium tuberculosis lebih mudah menyerang,” ujarnya.
Berdasarkan WHO Global Tuberculosis Report 2024, Indonesia menempati posisi kedua dunia untuk jumlah penderita TBC setelah India.
Tahun 2023, 130.927 orang meninggal akibat TBC — lebih dari 10 orang setiap jam.
Dan dari total itu, 147.000 kasus berkaitan langsung dengan kebiasaan merokok.
“Perokok harian berisiko dua kali lipat menderita TBC dibanding yang tidak merokok.”
Lanjutnya, “bahkan mantan perokok tetap berisiko karena paru-parunya sudah rusak.”
Ia menegaskan pula bahwa rokok elektrik tidak lebih aman. Kandungan nikotin, logam berat, dan bahan kimia di dalamnya tetap merusak sel paru, bahkan meningkatkan risiko infeksi TBC.
Negara Perokok, Negara Batuk
Data WHO lain menunjukkan, 73,1 persen pria dewasa di Indonesia adalah perokok, menjadikan Indonesia negara dengan jumlah perokok tertinggi keempat di dunia.
Dampaknya? Anak-anak dan istri menjadi perokok pasif tanpa pilihan.
Sebanyak 17,6 persen kasus TBC dan 15,2 persen kematian pasien TBC di Indonesia disebabkan oleh rokok.
Angka-angka itu menjadi alasan kenapa program Kampung Tanpa Rokok di Kebon Pala tidak sekadar seremoni, tapi panggilan darurat kesehatan masyarakat.
Tiga Gerakan dari Kampung Kecil
Bukan hanya mencanangkan Kawasan Tanpa Rokok, tapi juga melahirkan tiga gerakan sosial yang membuat banyak perlu meniru: Jaring Tas, Batuk PACE, dan GENTA TBC.
Tiga gerakan yang lahir dari empati, tumbuh dari gotong royong, dan kini menjadi jantung dari Kampung Siaga TBC.
1. Jaring Tas
Melalui sistem “Jaring Tas” (Jaring Terduga TBC), setiap RT menyebarkan tautan digital skrining TBC lewat grup WhatsApp warga. Siapa pun bisa mengisi gejala secara mandiri. Tim P2TBC (Program Pengendalian TBC) lalu mendata siapa saja yang berpotensi terinfeksi, melakukan kunjungan rumah, mengumpulkan dahak (sputum), dan memberikan pendampingan medis jika diagnosis positif.
Ini membuat deteksi dini TBC lebih cepat, tanpa menunggu pasien datang ke Puskesmas.
2. Batuk PACE (Bank Sampah untuk Pasien TBC)
Program ini menggabungkan aspek kesehatan dan pemberdayaan ekonomi. Tim P2TBC bekerja sama dengan Tim Tani yang mengelola kolam gizi dan green house.
Pasien yang sedang menjalani pengobatan mendapat bantuan gizi dari hasil panen sayur dan ikan setiap enam bulan. Sementara keluarga pasien dapat menukar sampah anorganik dengan bahan pangan — sebuah bank sampah yang berfungsi sekaligus sebagai bank kehidupan.
3. GENTA TBC (Gerakan Terpadu Antar Program dan Sektor)
Inilah payung besar dari semuanya. GENTA TBC menyatukan kerja lintas program — kesehatan lingkungan, gizi, psikologis — dan lintas sektor: sosial serta ekonomi.
Tim P2TBC melakukan kunjungan rumah, pendampingan, hingga terapi pencegahan TBC. Program gizi memberi edukasi makanan sehat, psikolog membantu pasien menghadapi depresi pengobatan panjang, dan sektor sosial menyiapkan bantuan ekonomi agar pasien tidak jatuh miskin karena sakit.
Tiga gerakan yang lahir dari empati, tumbuh dari gotong royong, dan kini menjadi jantung dari Kampung Siaga TBC.
1. Jaring Tas
Melalui sistem “Jaring Tas” (Jaring Terduga TBC), setiap RT menyebarkan tautan digital skrining TBC lewat grup WhatsApp warga. Siapa pun bisa mengisi gejala secara mandiri. Tim P2TBC (Program Pengendalian TBC) lalu mendata siapa saja yang berpotensi terinfeksi, melakukan kunjungan rumah, mengumpulkan dahak (sputum), dan memberikan pendampingan medis jika diagnosis positif.
Ini membuat deteksi dini TBC lebih cepat, tanpa menunggu pasien datang ke Puskesmas.
2. Batuk PACE (Bank Sampah untuk Pasien TBC)
Program ini menggabungkan aspek kesehatan dan pemberdayaan ekonomi. Tim P2TBC bekerja sama dengan Tim Tani yang mengelola kolam gizi dan green house.
Pasien yang sedang menjalani pengobatan mendapat bantuan gizi dari hasil panen sayur dan ikan setiap enam bulan. Sementara keluarga pasien dapat menukar sampah anorganik dengan bahan pangan — sebuah bank sampah yang berfungsi sekaligus sebagai bank kehidupan.
3. GENTA TBC (Gerakan Terpadu Antar Program dan Sektor)
Inilah payung besar dari semuanya. GENTA TBC menyatukan kerja lintas program — kesehatan lingkungan, gizi, psikologis — dan lintas sektor: sosial serta ekonomi.
Tim P2TBC melakukan kunjungan rumah, pendampingan, hingga terapi pencegahan TBC. Program gizi memberi edukasi makanan sehat, psikolog membantu pasien menghadapi depresi pengobatan panjang, dan sektor sosial menyiapkan bantuan ekonomi agar pasien tidak jatuh miskin karena sakit.
Di bawah koordinasi Puskesmas, semua bergerak bersama: dokter, kader, dan masyarakat.
Daniel: Luka yang Mengajar
Ketika Daniel maju berbicara di depan forum, suasana hening. Tak ada jargon. Tak ada teori.
Hanya suara yang keluar dari lubang di lehernya — pelan, serak, tapi menembus sanubari.
“Saya cuma mau bilang, kalau mau merokok, jangan di rumah. Jangan sampai anak dan keluarga ikut menghirup racun yang saya hirup dulu,” katanya. “Jangan tunggu sampai terlambat seperti saya.”
Beberapa bapak menunduk. Ada yang tersentuh dan diam-diam meraba saku di mana ia menyimpan rokok.
Daniel tidak memberi ceramah. Ia memberi cermin. Dan di pantulan itu, semua melihat kemungkinan masa depan yang tidak mereka inginkan.
Ketika Daniel maju berbicara di depan forum, suasana hening. Tak ada jargon. Tak ada teori.
Hanya suara yang keluar dari lubang di lehernya — pelan, serak, tapi menembus sanubari.
“Saya cuma mau bilang, kalau mau merokok, jangan di rumah. Jangan sampai anak dan keluarga ikut menghirup racun yang saya hirup dulu,” katanya. “Jangan tunggu sampai terlambat seperti saya.”
Beberapa bapak menunduk. Ada yang tersentuh dan diam-diam meraba saku di mana ia menyimpan rokok.
Daniel tidak memberi ceramah. Ia memberi cermin. Dan di pantulan itu, semua melihat kemungkinan masa depan yang tidak mereka inginkan.
Dari Kebon Pala, Udara Baru untuk Jakarta
Kampung RW 01 ini, kini resmi menyandang nama Kampung Siaga TBC dan Kawasan Tanpa Rokok.
Tapi lebih dari sekadar gelar, Kebon Pala sudah memberi contoh: bahwa perang melawan TBC dan rokok tidak selalu dimulai dari rapat di gedung pemerintahan, tapi bisa dimulai dari gang sempit yang membuka jendela dan kesadaran warganya.
“Sayangi paru-paru, jauhi rokok, jauhi TBC,” begitu kira-kira pesan pamungkas dr. Laura Astrid, yang bisa dicetak untuk banner sosialisasi di setiap ujung gang.
Dan di tengah teriknya Jakarta Timur, terasa ada kesejukan, bukan karena bayangan tenda, tapi karena kampung ini mulai belajar bernapas dengan lebih jujur dan lebih bersih.
(*)Dan di tengah teriknya Jakarta Timur, terasa ada kesejukan, bukan karena bayangan tenda, tapi karena kampung ini mulai belajar bernapas dengan lebih jujur dan lebih bersih.
Galeri
Tidak ada komentar