LUGAS | Jakarta,
Suasana di Aula Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta Pusat, Jumat (17/10/2025) pagi jelang siang itu terasa tegang namun berisi. Di bawah langit yang mendung, sekitar 60 peserta dari berbagai kalangan—akademisi, aktivis buruh, analis ekonomi, dan mahasiswa—berkumpul dalam sebuah forum yang diberi tajuk “Rembug Rakyat: Evaluasi 1 Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran.”
Forum ini diselenggarakan oleh Aliansi Nasional Pemuda Mahasiswa, dipimpin Deodatus Sunda, Ketua GMNI Jakarta Selatan. Dari pukul 10.00 hingga menjelang petang, ruang diskusi bergantian diisi oleh nama-nama yang akrab di dunia kebijakan dan aktivisme: Romo Setyo Wibowo, Ubedillah Badrun, Bhima Yudhistira, Unang Sunarno (KASBI), Alamsyah Saragih, Francisia Saveria Seda, Avianti Armand, hingga Alissa Wahid.
Mereka berbicara dengan lantang, namun berimbang—antara apresiasi terhadap capaian pemerintah dan kritik terhadap kebijakan yang dinilai menyimpang dari harapan rakyat.
Romo Setyo Wibowo membuka diskusi dengan sorotan tajam terhadap Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang menjadi ikon utama pemerintahan Prabowo–Gibran. Ia menilai, tata kelola program tersebut bermasalah dan memicu berbagai insiden keracunan massal.
“Pemerintah seperti meremehkan masalah ini. Ratusan anak keracunan di berbagai daerah, tapi evaluasinya tidak transparan,” ujarnya.
Romo Setyo juga menyinggung soal janji reformasi Polri yang belum kunjung direalisasikan. “Prabowo berjanji membentuk Komisi Reformasi Kepolisian, tapi sampai sekarang tak ada tindak lanjut. Ada indikasi pemerintah masih disandera oleh struktur lama,” tambahnya, merujuk pada posisi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang masih dipertahankan.
Kritik juga datang dari kalangan buruh. Unang Sunarno, Ketua Umum Konfederasi KASBI, menilai bahwa pemerintahan Prabowo–Gibran belum memberi dampak signifikan terhadap kesejahteraan pekerja. “Mayoritas buruh kini bekerja tanpa jaminan kepastian kerja. Filosofi ‘easy hiring, easy firing’ dari UU Cipta Kerja masih bertahan,” tegasnya.
Dari sisi ekonomi, analis kebijakan Alamsyah Saragih menyebut ada tiga tantangan besar dalam negeri: ancaman ideologi ekstrem, ketimpangan kesejahteraan, dan pembusukan demokrasi. Ia menyoroti aksi-aksi protes yang meluas sejak akhir Agustus lalu sebagai bentuk frustrasi rakyat atas ketimpangan sosial.
“Jangan biarkan suara rakyat diabaikan. Gelombang demonstrasi yang muncul akhir-akhir ini adalah tanda jurang ketidakpercayaan semakin lebar,” ujarnya.
Sementara itu, Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS, menilai bahwa kinerja ekonomi makro tidak selalu sejalan dengan realitas sosial. Ia mengingatkan agar keberhasilan menurunkan tingkat kemiskinan menjadi 8,47 persen dan pengangguran ke 4,76 persen, seperti dirilis pemerintah pekan ini, tidak membuat pemerintah abai terhadap kenaikan harga pangan dan daya beli masyarakat yang stagnan.
Pendidikan, Gizi, dan Ruang Sipil
Dari sisi pendidikan, Panji Mukliman Ahmad menyoroti bahwa berbagai program seperti Sekolah Rakyat, digitalisasi pendidikan, dan MBG belum berdampak nyata di lapangan. “Rakyat tidak butuh jargon, tapi pembuktian. Guru masih menjerit soal tunjangan, biaya sekolah masih tinggi,” katanya.
Senada, Avianti Armand dari Suara Ibu Indonesia menilai MBG tidak memiliki dasar hukum kuat dan perencanaan matang. “Data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat lebih dari 10.482 anak menjadi korban keracunan akibat distribusi yang tidak sesuai standar. Ini krisis akuntabilitas dan moral,” ujarnya.
Ia juga menyoroti keterlibatan TNI/Polri dalam distribusi MBG sebagai bentuk “militerisasi urusan sipil” yang berisiko membuka ruang penyalahgunaan kewenangan.
Sorotan Sepekan: Capaian dan Catatan Pemerintah
Sementara kritik bergulir, sepekan terakhir pemerintah juga menonjolkan sejumlah capaian menjelang satu tahun masa jabatan.
Kementerian Koordinator Perekonomian melaporkan capaian positif pada stabilitas fiskal dan penciptaan 665.000 lapangan kerja baru, terutama di sektor industri digital dan logistik. Kementerian Pertanian memastikan stok beras nasional mencapai 4 juta ton, dan program subsidi pupuk digital mulai berjalan di 13 provinsi.
Pemerintah juga tengah menyiapkan Inpres Efisiensi Anggaran yang diklaim dapat menghemat Rp306 triliun. Namun, kebijakan ini dikritik oleh sejumlah lembaga masyarakat sipil karena berpotensi memangkas dana pendidikan dan kesehatan.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menegaskan, “Kita telah melampaui banyak target, tapi masih perlu memperkuat koordinasi antarkementerian dan keterbukaan informasi publik.”
Di sisi lain, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto optimistis bahwa target pertumbuhan 8 persen masih realistis, dengan penopang utama dari hilirisasi industri, ketahanan pangan, dan ekonomi digital.
Seruan Akhir: Hidup Rakyat
Menjelang penutupan forum, L. Muhammad Rizaldi dari Front Mahasiswa Nasional (FMN) menyerukan agar pemerintah menghentikan kriminalisasi terhadap mahasiswa dan aktivis yang ditangkap pascademonstrasi akhir Agustus. “Kekerasan terhadap rakyat adalah cermin kemunduran demokrasi. Kita harus berani bicara agar sejarah tak berulang,” katanya.
Rembug Rakyat ditutup pukul 17.35 WIB, dengan deklarasi untuk melanjutkan konsolidasi rakyat menjelang aksi 20 Oktober 2025, berfokus pada isu pangan, energi, militerisme, dan demokrasi.
Ruang aula yang semula riuh perlahan hening. Namun sebelum bubar, seruan lantang terdengar lagi dari barisan mahasiswa:
“Hidup rakyat!”
Teriakan itu menggema, seolah mengingatkan bahwa demokrasi tidak berhenti pada bilik suara—tetapi hidup di ruang diskusi seperti ini.
Reporter: Dani Prasetya
Editor: Mahar Prastowo
Tidak ada komentar