Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Ayat-ayat yang Disembelih, Sepenggal Kisah Kebengisan PKI

| 15 September WIB |
Aksi unjuk rasa pemuda di Medan (Sumut) menolak paham komunisme dan kebangkitan PKI baru | foto: analisadaily
LUGAS | Jakarta - Sebuah pesan berantai beredar di aplikasi WhatsApp dan sosial media, terkait peringatan terhadap bahaya komunis. Komunis pernah berjaya pada masa pemerintahan Soekarno, dengan menjadi salah satu pilar utama kekuasaan yang disebut Nasakom (Nasional, Agama dan Komunis).

Namun, komunis dengan kendaraannya, PKI (Partai Komunis Indonesia), tidak sabar untuk merebut kekuasaan melalui pemilu sebagai saluran yang sah dan konstitusional. PKI melakukan upaya kudeta dengan terus berada disamping presiden Soekarno yang sedang dalam kondisi sakit, serta menempatkan tokohnya pada jabatan-jabatan penting dengan berbagai cara, termasuk menyingkirkan lawan politik dan memenjarakan ulama.

Dalam pesan berantai yang ditulis sebagai prolog buku Ayat-ayat yang Disembelih, itu disebutkan berbagai peristiwa sejarah kebengisan PKI, terutama permusuhan dan persekusinya terhadap ulama, santri dan umat Islam secara umum.

Deputi Bidang Pengkajian dan Materi Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP), Drs. Anas Saidi mengemukakan bahwa apa yang dilakukan PKI tidak dibenarkan karena menyerang orang yang kerkeyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana sila pertama Pancasila. Sebagaimana diketahui, PKI tidak mengenal asas ketuhanan alias ateis. "Yang dipersoalkan ketika menjadi Ateis adalah jika menyerang orang yang berkeyakinan terhadap Tuhan, seperti PKI dulu misalnya,” kata Guru Besar Universitas Negeri Malang itu.

Dibawah ini rangkaian peristiwa sejarah  pasca kemerdekaan Republik Indonesia, terkait pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) berdasarkan penuturan saksi mata yang juga diabadikan dalam buku Ayat-ayat yang Disembelih, dengan disunting seperlunya.

Didahului gerakan revolusioner yang disebut formal fase nonparlementer, yakni pengambil-alihan kekuasaan dari pemerintah yang sah.

Usaha kudeta itu disertai pula penculikan dan penganiayaan serta pembunuhan sejumlah penduduk sipil, para ulama, santri, pejabat, dan polisi.

Aksi dalam bentuk kekerasan terjadi di beberapa daerah, berikut diantaranya:

Di Tegal dan sekitarnya. Kekejian pertama PKI yaitu pada penghujung tahun 1945, tepatnya Oktober. Di kota ini, ada seorang pemuda PKI di Slawi, Tegal, Jawa Tengah, berjuluk Kutil (nama asli Sakyani), telah menyembelih seluruh pejabat pemerintah disana. Kutil juga melakukan penyembelihan besar-besaran di Brebes dan Pekalongan. Si Kutil mengarak Kardinah (adik kandung RA Kartini) keliling kota dengan sangat memalukan, syukurlah ada yang sempat menyelamatkan Kardinah, tepat beberapa saat sebelum Kutil memutuskan mengeksekusi Kardinah.

Di Kota Lebak, Banten. Kekejian datang dari Ce'Mamat, pimpinan gerombolan PKI dari Lebak (Banten) yang merencanakan menyusun pemerintahan model Uni Soviet. Gerombolan Ce'Mamat berhasil menculik dan menyembelih bupati Lebak R. Hardiwinangun di jembatan sungai Cimancak pada tanggal 9 Desember 1945.

Di Jakarta, selatan Kampung Melayu, terjadi pembunuhan terhadap tokoh nasional Otto Iskandar Dinata yang dihabisi secara keji oleh laskar hitam ubel-ubel dari PKI, pada Desember 1945. Nama Otto Iskandar Dinata kemudian diabadikan sebagai nama jalan raya antara Kampung Melayu - Cawang Jakarta Timur.

Di Sumatera Utara, PKI menumpas habis seluruh keluarga (termasuk anak kecil) Istana Sultan Langkat Darul Aman di Tanjung Pura, pada Maret 1946, serta merampas harta benda milik kerajaan. Putra mahkota juga jadi korban sehingga kerajaan ini tak dapat melanjutkan kelangsungannya.

Di Pematang Siantar. PKI menunjukkan kebrutalannya. Pada 14 Mei 1965, PKI melakukan aksi sepihak menguasai tanah-tanah negara. Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia (BTI), dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) melakukan penanaman secara liar di areal lahan milik Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) Karet IX Bandar Betsi. Pelda Sudjono yang sedang ditugaskan di perkebunan kebetulan menyaksikan aksi perilaku anggota PKI tersebut. Sudjono pun memberi peringatan agar aksi dihentikan. Anggota PKI bukannya pergi, justru berbalik menyerang dan menyiksa Sudjono. Akibatnya, Sudjono tewas dengan kepala terbelah akibat dicangkul.

Selain di daerah-daerah diatas, di berbagai kota di Jawa Timur PKI juga melancarkan rangkaian aksi brutalnya. Antara lain di Madiun, ketika Gubernur Jawa Timur R.M. Soerjo pulang dari lawatan menghadap Soekarno. Di tengah jalan, mobil Gubernur Soerjo bersama dua pengawalnya dicegat pemuda rakyat PKI, lalu diseret menggunakan tali sejauh 10 kilometer hingga meninggal dan mayatnya dicampakkan di tepi kali.

PKI juga menusuk dubur banyak warga desa Pati dan Wirosari (Madiun) dengan bambu runcing. Lalu, mayat mereka ditancapkan di tengah-tengah sawah, hingga mereka kelihatan seperti pengusir burung pemakan padi. Begitu juga dengan wanita, ditusuk kemaluannya sampai tembus ke perut, juga ditancapkan ke tengah sawah.

Di Magetan, Algojo PKI merentangkan tangga melintang di bibir sumur, kemudian bupati magetan dibaringkan diatasnya. Ketika telentang terikat itu, algojo mengggergaji badannya sampai putus dua, lalu langsung dijatuhkan ke dalam sumur.

Demikian juga Kyai Sulaiman dari Magetan ditimbun di sumur Soco bersama 200 orang santri lainnya, pada September 1948.

Museum pabrik gula Gorang Gareng juga jadi saksi bisu kisah Kyai Imam Musyid Takeran yang hilang tak tentu rimbanya, genangan darah setinggi mata kaki di pabrik gula Gorang Gareng, ayah dari Sumarso Sumarsono yang disembelih di belakang pabrik gula, baru ketemu rangka tubuhnya setelah 16 tahun. Bahkan para PKI selain memasukkan mayat-mayat ke dalam sumur juga membakar sebagian mayat di lumbung padi.

Kisah Isro yang sekarang menjadi guru di Jawa Timur. Ketika dulu masih berumur 10 tahun pada tahun 1965, Isro hanya bisa memunguti potongan-potongan tubuh ayahnya yang sudah hangus dibakar PKI di pinggir sawah dan hanya bisa dimasukkan ke dalam kaleng.

Di Blora, Jawa Tengah, pasukan PKI menyerang markas Kepolisian Distrik Ngawen pada 18 September 1948. Setidaknya, 20 orang anggota polisi ditahan. Namun, ada 7 polisi yang masih muda dipisahkan dari rekan-rekannya. Setelah datang perintah dari Komandan pasukan PKI Blora, mereka dibantai pada tanggal 20 september 1948. Sementara, 7 orang polisi muda dieksekusi secara keji. Ditelanjangi, kemudian leher mereka dijepit dengan bambu. Dalam kondisi terluka parah 7 orang polisi dibuang ke dalam kakus/jamban (WC) dalam kondisi masih hidup, baru kemudian ditembak mati.

Di desa Kresek, Kecamatan Wungu, Dungus, PKI membantai hampir semua tawanannya dengan cara keji. Para korban dtemukan dengan kepala terpenggal. 

Itu hanyalah sekelumit penggalan luka sejarah yang pernah disayatkan PKI di Indonesia. Hingga puncaknya terjadi upaya kudeta berdarah dengan menghabisi para Jendral nasionalis yang menentang PKI dalam peristiwa yang disebut Soekarno sebagai Gestok (Gerakan 1 Oktober) atau G 30 S/PKI (Gerakan 30 September/PKI).

Anthony Giddens menyatakan bahwa komunisme dan sosialisme sebenarnya belum mati. Saat ini di banyak negara, komunisme berubah menjadi bentuk yang baru. Baik itu Kiri Baru ataupun komunisme khas seperti di Kuba dan Vietnam.

Letjen (P) Kivlan Zain, pernah mengungkapkan diantara ciri pergerakan penerus PKI di Indonesia, melakukan berbagai propaganda untuk mempengaruhi masyarakat, yaitu melakukan gerakan-gerakan atasnama rakyat, melakukan penistaan dan pembunuhan karakter terhadap ulama, dan bersikap antipati terhadap militer (TNI).

Selain itu, penerus PKI menyusupkan paham-paham dan ajarannya melalui jalur pendidikan, media, birokrasi dan berbagai sendi kehidupan masyarakat.

Penerus gerakan PKI, dengan bentuk lain dan melakukan inflitrasi ke berbagai lembaga pemerintah, swasta dan partai politik, juga berusaha memutarbalikkan fakta dengan menjadikan PKI sebagai korban kejahatan pemerintah orde baru dibawah Presiden Soeharto.

Ketua Bidang Propaganda Ormas Perisai Berkarya, Mahar Prastowo, menyatakan bahwa PKI secara bentuk organisasi kepartaian memang sudah tidak ada, tapi yang diteruskan bukan partainya, melainkan visi dan misinya, yang salah satu diantaranya adalah
mencabut Tap MPRS No XXV/MPRS/1966 tentang pelarangan komunisme di Indonesia dan Partai Komunis Indonesia.

Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966, adalah tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia. Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.

Pasal 107a : Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme dan segala bentuk perwujudan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 Tahun.

Pasal 107 e :
a. barangsiapa yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau dalam segala bentuk dan perwujudannya; atau

b. barangsiapa yang mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau dalam segala bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan Pemerintah yang sah.
 
"Sebagai bagian dari perjalanan sejarah, jangan sampai muatan tentang PKI dihapus. Lebih penting lagi adalah bekali pelajar sebagai generasi muda dengan pemahaman agama. Karena ateisme yang diusung komunis, hanya efektif dilawan dengan agama. Yakin, semua agama mengajarkan kebaikan dan menentang ateisme, hal ini selaras dengan sila pertama Pancasila, bahwa tiket pertama untuk menjadi warga negara Indonesia harus berketuhanan atau meyakini dan memeluk salah satu agama," terang Mahar.

Tentang kontradiksi beberapa waktu ini dimana agama justru jadi alat pertengkaran di ranah publik, Mahar mengajak kembali berpikir: Siapa yang anti agama? Siapa yang berkepentingan terjadi konflik antar agama?

Mahar mengingatkan  jangan sampai terpengaruh dengan isu SARA khususnya tentang agama,  yang bisa jadi, sengaja digulirkan pihak tertentu untuk memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang telah berabad-abad hidup rukun berdampingan.

"Kita rekatkan pilar-pilar pembentuk negara ini, yaitu dari berbagai suku, bangsa dan agama melalui Pendidikan Moral Pancasila. Tak hanya sebagai slogan saja, tapi ajarkan kembali dengan pemahaman terhadap 45 butirnya, berikut contoh-contohnya dalam kehidupan sehari-hari, dimana satu sama lain bukan saling mengganggu tapi justru saling peduli," saran Mahar, yang menjalankan Program Pendidikan Pancasila, Kewarganegaraan dan Bela Negara dengan menyinggahi pulau-pulau terluar. 

Di bulan September ini, dimana muncul euforia masyarakat agar Film Penghianatan G30S/PKI diputar kembali, menurut Mahar selayaknya diapresiasi, bahkan difasilitasi. Jangan malah disebarkan opini bahwa film tersebut tidak layak tonton karena ada adegan kekerasan. Karena untuk scene tertentu yang mengandung unsur kekerasan bisa saja disensor dengan dibluur.
 

[agw]

PROMO PAKET UMRAH

TIKET KAI NATAL/TAHUN BARU 2024

×
Berita Terbaru Update