Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Politik Jilbab Presiden Singapura

| 12 September WIB |
Halimah Yacob dan Politik Tudung (Jilbab) | Foto: the independent
Selamat! Singapura memiliki presiden baru. 

Ialah Halimah Yacob (63). Seorang wanita, asal etnik melayu, dan muslim. Lengkap sudah pakaian minoritas ibu lima orang anak ini. 

Anak seorang janda penjual nasi padang ini memang aktif berorganisasi, bahkan selama 30 tahun ia anggota Kongres Serikat Perdagangan Nasional, dimana ia bergabung pada 1978, hingga kemudian meraih jabatan sebagai wakil sekretaris jenderal.

Karir politik ia awali dengan menjadi anggota Partai Aksi Rakyat (PAP).  Dia adalah Anggota Parlemen (MP) yang mewakili Konstituensi atau daerah pemilihan Jurong (2001 dan 2015), dan mewakili Konferensi Demokrasi Kelompok Marsiling-Yew Tee pada tahun 2015 dan 2017.
 
Halimah Yacob, sarjana hukum ini adalah Ketua Parlemen yang kesembilan, menjabat sejak Januari 2013 sampai Agustus 2017, dan akhirnya pada tanggal 7 Agustus 2017, dia tinggalkan jabatan sebagai juru bicara parlemen dan dari keanggotaannya di PAP, guna menjadi kandidat untuk pemilihan presiden Singapura 2017.

Sejak memerdekakan diri dengan memisahkan diri dari Malaysia yang dibawah koloni (persemakmuran) Inggris, Singapura pernah memiliki seorang Presiden asal Melayu, yaitu Yusof Ishak. Yusof adalah presiden antara tahun 1965 dan 1970 atau pada awal-awal kemerdekaan Singapura, dimana kekuasaan eksekutif pemerintahan terletak pada Lee Kuan Yew selaku perdana menteri.

Sebagai pemegang kekuasaan eksekutif pemerintahan, Lee berkuasa selama tiga dasawarsa dan dianggap otoriter, dan condong kepada kaum elit.

Pemerintahan dibawah PM Lee menekan kaum oposisi dan membatasi kebebasan berpendapat, serta melemahkan lawan politik dengan penuntutan hingga membangkrutkan dan melemahkan ekonomi. Sikap Lee telah menyebabkan hari ini muncul ketegangan tak hanya antara kubu partai penguasa (PAP) dengan para oposisi, namun juga antara mayoritas dan minoritas.

Hadirnya Halimah Yacob sebagai presiden, diharapkan dapat menjadi perekat kembali kesenjangan mayoritas dengan minoritas atau Tionghoa dengan Melayu.

Meski bukan sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, terpilihnya Halimah juga bakal menjadi sinyal positif bagi pengakuan terhadap minoritas, yang akan membangkitkan rasa percaya diri kaum minoritas yang selama ini mengalami perlakuan berbeda di dalam pekerjaan, pendidikan dan lain-lain namun tak terekspos.

Halimah juga bakal menjadi duta minoritas untuk bersuara di kawasan Asean, sekaligus menghapus kekhawatiran apa yang terjadi di Myanmar bakal merembet ke negara mereka.

Hal menarik yang bakal jadi bahasa politis guna mendekati minoritas muslim untuk tak bereaksi keras terhadap Myanmar, adalah selembar jilbab yang dipakai Halimah.

Jika tak dapat mengambil hati melayu-muslim-minoritas, diamnya Singapura terhadap apa yang terjadi menimpa etnik Rohingya, misalnya, bisa memicu ketegangan di dalam negeri. Dan sejauh ini, pemerintah Singapura berhasil membuat muslim melayu tak bereaksi berlebihan. 

Di satu sisi, mungkin minoritas muslim melayu akan merasa puas, dimana Halimah telah menjadi perwakilan mereka dalam pemerintahan. Namun, jika tak dapat mengelola dengan baik, kibaran jilbab sang Presiden bisa jadi cambuk penyemangat minoritas untuk bangkit dan bereaksi. Apalagi, jilbab, selama ini dibatasi pemakaiannya bagi pegawai negeri dan pelajar/mahasiswa.

Akankah tudung (jilbab) sang presiden menjadi penyejuk suasana politik, atau justru menjadi kipas yang menyalakan sekam? 

Yang jelas, jilbab sang presiden akan berarti banyak, dan memberi pengaruh sosial politik di negeri singa maupun di kawasan Asean.


Mahar Prastowo,
Forum Pewarta Digital (FORWARD)

Penerima Beasiswa MUIS (Majelis Ugama Islam Singapura)
Ketua Bidang Propaganda & Media Perisai Berkarya

PROMO PAKET UMRAH

TIKET KAI NATAL/TAHUN BARU 2024

×
Berita Terbaru Update