Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

CIIA: Rusuh Mako Brimob Menyisakan Tanda Tanya Publik

| 10 Mei WIB |
LUGAS | Jakarta - Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya menilai kejadian berupa kerusuhan narapidana teroris (napiter) di Mako Brimob masih menyisakan tanda tanya. 

Harits menilai, tanda tanya itu akibat adanya kesan tidak sinkron ketika para pejabat terkait menyampaikan keterangan pers, akhir dari rusuh di Rutan Mako Brimob. Dalam hal ini disampaikan oleh Wakapolri pada hari ini, Kamis (10/05/2018), kemudian dilanjutkan oleh Menkopolhukam, dan secara terpisah di sesi berikutnya kembali disampaikan Wakapolri bersama komandan Brimob.

"Ada kesan ketidaksinkronan dan masih banyak hal yang tidak terungkap tuntas oleh awak media jika kita perhatikan dengan seksama dari paparan mereka," kata Harits.  

Rusuh rutan Mako Brimob yang mengakibatkan 6 korban meninggal, ini membuat orang bertanya-tanya terutama bagaimana kronologi para napiter bisa menguasai senjata api, pemilikan sajam bahkan bom, serta  bagaimana teknis softh approach yang berakhir dilepasnya sandra dan menyerahnya semua napiter. "Dan apakah benar hanya soal sepele 'makanan' pada hari itu yang memicu terjadinya insiden tersebut?" tanya Harits mengungkapkan keraguannya.

"Ini analisa saya,  mungkin pihak aparat menggunakan Ustad Oman Abdurrahman untuk bisa bicara dengan para napiter melalui perwakilannya misalkan seperti Alex dan Muflich," kata Harits. 

Terlebih, Ustad Oman Abdurrahman yang merupakan ideolog bagi para napiter, dikabarkan juga berada di rutan yang sama, hanya beda blok. Bisa jadi, demikian Harits menganalisa, bahwa aparat melakukan pendekatan terlebih dahulu kepada Ustad Oman agar ia bisa membantu menyelesaikan insiden tersebut. 

Sosok Oman menjadi penting posisinya karena dialah yang dipatuhi dan didengar pendapatnya. "Dalam insden ini, bisa jadi Oman tidak sependapat dan tidak mendukung aksi para napiter yang latar belakang aksinya adalah urusan perut atau hal tidak penting. Ditambah argumentasi dan pertimbangan lainnya. Dan itu bisa kuat pengaruhnya bagi napiter untuk berpikir lebih rasional," terang Harits Abu Ulya. 

Akhirnya, dengan adanya pengaruh Ustad Oman itu, para napiter mau meletakkan senjata semua dan keluar menyerah satu persatu. "Jadi kemungkinan besar Oman punya peran dalam proses menyerahnya napiter," tandas Harits.

Beda militansi juga bisa jadi sebab keberhasilan negosiasi, kata Harits. Sebab dari sebanyak 156 orang napiter itu level militansinya berbeda, tidak semua masuk lingkaran inti (militan). Paling tidak, dari 156 itu ada 10 orang yang pegang senjata dan masuk dalam lingkaran inti dengan militansi yang lebih dibanding lainnya. Karena itulah 145 napiter lebih mudah diajak untuk berbicara dan masih memilih tawaran rasional dari pihak aparat. 

Upaya soft approach dari aparat menjadi lebih lancar lagi karena Harits menilai dari 10 militan itu juga tidak sepenuhnya punya sikap mandiri. "Buktinya mereka sempat meminta untuk ketemu dengan ideolog dan rujukan mereka yaitu Ustad Oman Abdurrahman. Nah dari situ terlihat, meski militan tetap saja mereka manusia yang masih bisa diajak bicara untuk mencari solusi terbaik," terang Harits.

Untuk antisipasi kejadian serupa dimasa mendatang, Harits menyarankan perlunya ada evaluasi mendalam terhadap kinerja Densus 88 pasca investigasi dari insiden ini. Karena bisa saja insiden ini muncul akibat akumulasi kemarahan napiter yang mendapat perlakuan tidak adil dan sebagainya oleh petugas. "Karena bisa jadi petugas densus saat insiden terjadi, adalah petugas baru dan relatif masih muda. Jika sikap overacting itu muncul maka kerap melahirkan rasa benci pada diri napiter. Jadi bukan semata spontanitas karrna soal 'makanan', tapi akumulatif," papar Direktur CIIA Harits Abu Ulya.

Lebih lanjut Harits Abu Ulya - Direktur CIIA - ini juga  menyoroti soal penguasaan senjata api, senjata tajam hingga bom. "Begitupun soal senpi, sajam dan bom. Perlu investigasi adakah unsur kelalaian didalamnya hingga para napiter dengan mudah mendapatkan dan menguasainya. Kesannya paradoks, senpi-senpi tersebut direbut dari aparat Bhayangkara (Densus88) terbaik, oleh para napiter yang notabene mereka tidak terlatih dalam banyak hal.

Yang luar biasa, demikian dikatakan Harits, adalah  155 orang menyerah tanpa timbul korban tewas. Dan profesionalisme Polri selalu diuji untuk kedepannya dalam kasus terorisme. Hari ini bisa dengan pendekatan lunak dan sukses, semoga  kedepan juga lebih profesional, mengingat kasus yang lalu-lalu seperti penindakan terorisme di Ciputat atau di Mojosongo Jawa Tengah dan lainnya, para teroris jumlahnya sedikit dan senjatanya juga sedikit tapi jatuh korban. "Ini sepuluh orang pegang senjata dengan amunisi yang cukup tapi happy ending. Sesuatu yang luar biasa," ujar Harits mengapresiasi kinerja Polri.

Alhasil, dengan peristiwa rusuh di rutan Mako Brimob ini, setidaknya selain menunjukkan profesionalitas kinerja Polri, para napiter juga diboyong dan dipindahkan ke LP Nusa Kambangan yang memang dipersiapkan untuk Napi, bukan hanya rutan titipan atau transit dengan segala kekurangannya. [mhr]

Berita terkait:
KompasTV/10052018/HAU

PROMO PAKET UMRAH

TIKET KAI NATAL/TAHUN BARU 2024

×
Berita Terbaru Update