Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Para Lelaki Dukung RUU TPKS: Harus Segera Disahkan, Jangan Ada Korban Lagi

| 15 Januari WIB |



LUGAS | Jakarta - Diantara para aktivis perempuan yang hadir dalam pertemuan dengan Ketua DPR RI Puan Maharani pada Rabu (11/01) pekan ini, dua lelaki muda berbalut jaket almamaternya duduk menyimak.

Mika Simon Sibarani yang hadir bersama seorang rekannya dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Diponegero sempat pula menyampaikan pendapat tentang Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).

"Kasus kekerasan seksual terus meningkat eskalasi kasusnya di masyarakat, termasuk di kampus. Jadi kami sangat mendukung dan mengapresiasi penuh RUU TPKS yang menjadi RUU Inisiatif DPR sebab kita butuh RUU TPKS untuk menciptakan ruang aman yg bebas kekerasan seksual. Kami mendukung adanya keterbukaan dan pelibatan masyarakat dalam pembahasan RUU TPKS ini," ujar Mika. 

Kehadiran dua pemuda dalam dengar pendapat bersama para aktivis perempuan itu, mendapat perhatian dari Puan.

"Baik sekali kalau semua, termasuk kaum lelaki juga ikut concern soal RUU TPKS, karena ini sebenarnya bukan hanya masalah perempuan dan anak, tapi masalah bangsa," lanjut Puan.  

Mika tentu bukan satu-satunya pria yang memiliki kepedulian atas dinamika yang terjadi terhadap perjalanan RUU TPKS ini. Ada banyak pria yang juga mendukung disahkannya RUU TPKS tersebut karena persoalan kekerasan seksual juga bisa dialami pria. Menurut catatan Komnas Perempuan, ada 1 dari 10 laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual.

Dalam rapat dengar pendapat dengan Badan Legislatif (Baleg) DPR pada Februari 2021 silam, Direktur Eksekutif Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Dio Ashar pernah menyampaikan hasil studi kuantitatif yang dilakukan oleh organisasinya dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) yang melaporkan 33,3 persen laki-laki pernah mengalami kekerasan seksual.

Meski tidak sebanyak kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang jumlahnya mencapai lebih dari 66 persen, jumlah tersebut menjadi sangat signifikan bila merujuk pada perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) bahwa satu korban kekerasan sudah terlalu banyak. 

Apresiasi atas pernyataan Puan yang menyatakan akan segera mengesahkan RUU TPKS sebagai RUU Inisiatif DPR juga dilontarkan oleh Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.

"Saya mengapresiasi langkah Ketua DPR jika pekan depan menetapkan RUU ini sebagai usul inisiatif yang diprioritaskan dan segera disahkan," ujar Usman.

Menurut Usman, banyak sekali warga masyarakat yang sudah berada dalam keadaan darurat kekerasan seksual. Ia bercerita bahwa Jumat (14/01) dini hari tadi saja, ia baru tiba dari perjalanan darat luar kota untuk membantu seorang perempuan yang baru mengalami kekerasan yang dilakukan oleh suaminya.

"Cukup parah. Bukan hanya kekerasan fisik biasa, atau kekerasan verbal dan mental saja. Tetapi nyaris semuanya, termasuk kekerasan seksual. Sang istri juga dipisahkan dari anak perempuan yang kini dibawa oleh suami tanpa kejelasan nasib anak dan lokasi keberadaannya. Kami sudah lapor ke pihak kepolisian, Polda Jabar dan Bareskrim, semoga ada tindakan hukum. Sebulan lalu saya membantu seorang ibu yang anaknya menjadi korban kekerasan seksual di sebuah pesantren," tambah Usman.

Aktivis kesetaraan dan keragaman yang juga akademisi dari Departemen Ilmu Politik FISIP UI, Nur Iman Subono menerangkan bahwa, kondisi Indonesia mengalami kondisi darurat kekerasan seksual dan karenanya RUU TPKS menjadi sebuah urgensi untuk segera disahkan. Ia dengan tegas mengatakan mendukung disegerakannya pengesahan RUU TPKS ini.

"Apalagi RUU yang begitu urgen ini sudah tertunda lebih dari satu tahun. Meski memang prioritas dan fokus penangan kekerasan seksual saat ini cenderung lebih berfokus untuk perempuan, sejatinya korban dan pelaku bisa siapa saja. Jadi jelas, RUU ini sebenarnya buat kemaslahatan orang banyak," jelas Nur.

Budiman Sudjatmiko seorang politisi juga menyampaikan hal yang sama terkait perkembangan RUU TPKS ini.

"Menurut saya, sudah benar yang dikatakan Ketua DPR, bahwa RUU TPKS ini harus disegerakan. Kekerasan seksual yang terjadi yang biasanya disebabkan oleh hubungan relasi kuasa yang tidak setara ini rentan terjadi di lembaga apa pun. Sekuler, keagamaan, sipil, militer, bahkan keluarga. Apalagi, kasus kekerasan umumnya bersifat seperti gunung es. Yang muncul di permukaan hanya sebagian kecilnya saja, sementara kasus lain yang jumlahnya jauh lebih banyak, terkubur di bawah permukaan," kata Budiman.

Budiman dan Usman juga mengingatkan, perlunya memperhatikan dan melindungi kepentingan korban dalam setiap kasus kekerasan yang terjadi. Perlindungan korban ini pula yang menurut Usman, menjadi alasan perlunya RUU TPKS segera disahkan.

"Terlalu lama penderitaan masyarakat kita berjalan tanpa perlindungan Negara dalam kasus kekerasan seksual. RUU ini hendak memberi landasan hukum bagi masyarakat untuk mendapatkan perlindungan negara. Sebab penindakan dan pencegahan jenis kejahatan ini belum diatur dalam Undang-Undang lain. Padahal sangat penting bagi perlindungan hak asasi manusia, baik melalui penghukuman pelaku maupun perlindungan yang berbasis prinsip pencegahan terjadinya kekerasan seksual, serta pemulihan maupun pemenuhan hak-hak korban yang belum diatur dalam Undang-Undang lain," jelas Usman.

Baik Nur Iman, Usman dan Budiman juga menampik pendapat segelintir kelompok yang menentang RUU TPKS ini.

"Tidak ada pasal-pasal dalam RUU TPKS yang bisa dianggap pro perzinahan dan sebagainya. RUU ini secara khusus atau lex spesialis menangani kekerasan seksual dan fokus pada perlindungan korban, hukuman dan rehabilitasi pelaku supaya kekerasan tidak terjadi lagi. Korban sudah berjatuhan dan korbannya ini bisa siapa saja, lintas usia, kelas, etnis, agama, status sosial ekonomi dan lokasi. Karenanya RUU ini harus dikawal bersama sampai menjadi undang-undang," tambah Nur.

Ia juga menyitir perspektif Hak Asasi Manusia yang memandang satu orang korban yang jatuh karena sebuah kasus kekerasan sudah lebih dari cukup.

"Selebihnya hanya angka-angka. Toleransi kita harus nol untuk kasus-kasus kekerasan seksual," terang Nur.

“Mereka yang menentang pasti kurang memahami esensi tindak pidana kekerasan seksual dan mengapa tidak adanya persetujuan dalam hubungan seksual itu merupakan kejahatan. Bahkan dalam pernikahanpun, hubungan seksual dengan paksaan itu jelas merupakan tindak kejahatan, yaitu perkosaan dalam hubungan pernikahan. Jika mereka pakai isu agama untuk menolak RUU ini, itu sangat keliru karena ajaran agama juga melarang kekerasan seksual. Hukum internasional juga melarang kekerasan seksual, bahkan jenis-jenis tertentu dari kekerasan seksual dapat dianggap sebagai pelanggaran berat HAM. Hukum pidana tentang zina dan kesusilaan yang diatur Undang-Undang lainnya sangat problematik dan harus diperbaiki. RUU ini adalah sebagian saja dari upaya perbaikan sistem perlindungan negara kepada kita semua, tanpa kecuali, termasuk anak cucu kita," jelas Usman.

Senada dengan dua pendapat tersebut, Budiman pun menolak pendapat segelintir kelompok tersebut.

"Jangan sampai kekolotan segelintir kelompok yang salah paham atau menyalahpahami RUU TPKS ini mempengaruhi pemikiran tentang urgensi untuk memberi ruang aman bagi kemanusiaan. Suara minor dari sedikit orang ini tak boleh malah menggagalkan ekspresi dan kebutuhan banyak orang," tutup Budiman.







Laporan Koresponden DKI Jakarta

Editor: Taufik Zackariya

PROMO PAKET UMRAH

TIKET KAI NATAL/TAHUN BARU 2024

×
Berita Terbaru Update