Komaruddin Hidayat, Ketua Dewan Pers.


ESSAI
 - Ada suasana yang berbeda di Palu sore itu. Langit tampak teduh, meski di layar Zoom, wajah Komaruddin Hidayat tampak penuh gurat keprihatinan. Ketua Dewan Pers yang baru dua bulan menjabat itu menutup seminar nasional Pro Jurnalismedia Siber (PJS) dengan satu pidato yang lebih mirip renungan panjang ketimbang sambutan resmi.

Ia bicara tentang masa depan pers siber. Tentang apa yang sedang kita hadapi bersama hari ini: banjir informasi, derasnya arus hoaks, dan bagaimana media arus utama kian tergeser oleh algoritma media sosial.

“Jika kepercayaan publik terhadap pers hilang, dan ruang informasi dikuasai konten medsos yang tidak terkendali, maka langit informasi negeri ini bisa menjadi gelap,” katanya.

Itu kalimat yang sederhana, tapi menampar kita semua. Karena kita tahu, itu bukan sekadar retorika. Itu adalah realitas yang pelan-pelan sedang kita telan setiap hari.


Di Palu, Suara Itu Menggema

Penutupan seminar nasional PJS ini seolah menjadi penanda bahwa konsolidasi media siber bukan sekadar wacana elitis. Di kota yang dulu porak-poranda karena gempa dan tsunami, ratusan peserta—baik yang datang langsung ke Gedung Pogombo, Kantor Gubernur Sulawesi Tengah, maupun yang ikut daring—bersedia duduk berjam-jam demi satu topik: masa depan pers.

Topik yang, mungkin bagi sebagian orang, tidak lagi populer. Apalagi di era di mana “share” dan “view” lebih menggoda daripada akurasi.

Tapi sore itu, di bawah sorot lampu ruangan dan pantulan cahaya layar laptop, kita seperti diingatkan kembali: pers bukan sekadar soal industri. Pers adalah soal tanggung jawab. Soal menjaga akal sehat publik di tengah keramaian suara yang bersaing di jagat digital.


Ketika Medsos Jadi Raja          

Komaruddin tidak hanya bicara tentang etika jurnalistik yang kerap kita dengar dalam seminar-seminar biasa. Ia bicara soal sebab-akibat, soal mata rantai peristiwa yang harus dipahami oleh wartawan sebelum menuliskannya menjadi berita.

Ia bicara soal bagaimana media sosial memberi ruang demokratisasi, tapi juga membuka pintu bagi provokasi dan kebencian. Ia bicara soal pers yang kehilangan pendapatan dan audiens, sementara hoaks justru dibagikan tanpa henti, lebih cepat, dan lebih murah.

Dan ia bicara soal satu hal yang mungkin sering luput: kepercayaan publik.


Tiga Tahun PJS dan Sebuah Catatan Kecil          

PJS sendiri baru berusia tiga tahun. Usia yang sangat muda untuk organisasi pers yang ingin menjadi konstituen Dewan Pers. Tapi ada kesungguhan yang terasa. Dari pernyataan Ketua Umum DPP PJS Mahmud Marhaba, kita tahu mereka tidak hanya bicara soal verifikasi media. Mereka bicara soal perlindungan hukum bagi wartawan, pelatihan kompetensi, dan bagaimana media siber di daerah juga punya ruang untuk tumbuh.

Ketua DPD PJS Sulteng, Muhammad Sofyan, menegaskan bahwa forum ini bukan seremoni. Dan kita semua tahu, seringkali yang lebih sulit daripada bicara soal idealisme adalah menjaga idealisme itu tetap hidup di tengah tekanan kebutuhan finansial dan rating.

 
Di Antara Kritik dan Tanggung Jawab          

Ada satu kalimat Komaruddin yang mungkin patut kita simpan baik-baik:

“Pers itu merdeka, tapi harus tahu batas. Pemerintah jangan alergi terhadap kritik. Justru pers hadir untuk menyuarakan kepentingan rakyat, dan pemerintah punya tanggung jawab mendengarkannya.”

Kalimat ini sederhana, tapi menjadi fondasi mengapa pers masih relevan. Di era ketika semua orang bisa jadi “wartawan” di media sosial, justru profesionalisme, etika, dan integritas menjadi pembeda.

Komaruddin juga bicara soal MoU Dewan Pers dengan Kejaksaan Agung. Tentang bagaimana jaksa menganggap pers sebagai sahabat negara. Karena negara punya keterbatasan memantau semua persoalan. Di titik itulah, pers menjadi mata dan telinga publik.

 
Langit yang Tak Boleh Gelap          

Di akhir pidatonya, Komaruddin bicara tentang rumah besar bernama Indonesia. Tentang pers yang sejak dulu lahir dari semangat perjuangan, independensi, dan juga kewirausahaan.

“Rumah besar bernama Indonesia ini tidak boleh kita rusak oleh perpecahan informasi,” katanya.

Kita tahu, di balik layar Zoom dan mikrofon, mungkin ia bicara pada ratusan kepala yang sedang berpikir keras. Tapi sejatinya, ia bicara kepada kita semua—para pengelola media, wartawan, dan juga pembaca.

Karena di tangan kita, langit informasi itu bisa tetap cerah. Atau berubah menjadi gelap.

Dan sore itu, di Palu, di layar Zoom yang dingin, suara itu terdengar hangat: sebuah pengingat bahwa tugas pers belum selesai. Dan tak akan pernah benar-benar selesai.


______________
Mahar Prastowo
Wakil Ketua SMSI (Serikat Media Siber Indonesia Jakarta Timur)