LUGAS | Gunung Putri — Suasana Masjid Baitul Kabir di Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Minggu (19/10/2025) pagi terasa berbeda. Sejak pukul 07.00, jamaah mulai berdatangan. Sebagian datang berboncengan motor, atau sekeluarga pakai mobil, sebagian lagi berjalan kaki dari gang-gang di sekitar masjid. Di teras, panitia sibuk mengatur sandal, tim keamanan dari Senkom mengatur lalulintas, sementara di dalam, lebih dari 1.200 warga Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) duduk berbaris rapi menanti dimulainya pengajian rutin bulanan.

Tema kali ini: “Bahaya Riba dalam Kehidupan Modern”.
Materi disampaikan oleh Ustadz H. Ujang Maulana Yusuf, yang membawakan kajian dari Surat Ali Imran ayat 130.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوا الرِّبٰوٓا اَضْعَافًا مُّضٰعَفَةًۖ وَّاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَۚ ۝١٣٠
yâ ayyuhalladzîna âmanû lâ ta'kulur-ribâ adl‘âfam mudlâ‘afataw wattaqullâha la‘allakum tufliḫûn
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung."

Dalam penyampaiannya, Ustadz Ujang menegaskan bahwa praktik riba bukan sekadar fenomena masa lalu, melainkan tantangan masa kini. “Riba hari ini hadir dalam wajah baru — lewat sistem kredit, pinjaman digital, hingga investasi yang menipu,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa riba adalah penyakit spiritual sekaligus sosial. “Riba bukan hanya menggerogoti ekonomi, tapi juga menghilangkan keberkahan. Rezeki bisa banyak, tapi tak pernah tenang,” kata Ustadz Ujang.

Ustadz Ujang mengingatkan jamaah bahwa Al-Qur’an menempatkan pelaku riba dalam posisi yang sangat berat. “Allah dan Rasul-Nya menyatakan perang terhadap pelaku riba,” ujarnya mengacu pada QS. Al-Baqarah ayat 275–279, yang menegaskan bahwa pelaku riba “diperangi oleh Allah dan Rasul-Nya”.

اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ ۝٢٧٥

alladzîna ya'kulûnar-ribâ lâ yaqûmûna illâ kamâ yaqûmulladzî yatakhabbathuhusy-syaithânu minal-mass, dzâlika bi'annahum qâlû innamal-bai‘u mitslur-ribâ, wa aḫallallâhul-bai‘a wa ḫarramar-ribâ, fa man jâ'ahû mau‘idhatum mir rabbihî fantahâ fa lahû mâ salaf, wa amruhû ilallâh, wa man ‘âda fa ulâ'ika ash-ḫâbun-nâr, hum fîhâ khâlidûn

"Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa pun yang telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya (menyangkut riba), lalu dia berhenti sehingga apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (transaksi riba), mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya."



Menuntut Ilmu dan Membangun Kesadaran


Sesi berikutnya diisi oleh Ustadz Rifa’i, pengasuh Pondok Pesantren Darul ‘Ilmi, yang membahas pentingnya niat dan adab dalam menuntut ilmu. Ia mengingatkan, ilmu agama harus menjadi fondasi agar umat tidak mudah terseret dalam transaksi yang tampak halal tapi sejatinya haram.
“Ilmu itu cahaya,” katanya, “dan cahaya tidak akan turun kepada hati yang penuh urusan dunia.”

Kegiatan ini, menurut Ketua DPD LDII Kabupaten Bogor, menjadi agenda pembinaan rutin untuk memperkuat pemahaman warga terhadap nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. “Kami ingin warga LDII tidak hanya rajin beribadah, tapi juga memahami aspek muamalah. Ini bagian dari kontribusi kami bagi bangsa,” ujarnya.



Membangun Kemandirian Ekonomi Syariah


Dewan Pembina LDII Kabupaten Bogor, H. Suyadi, yang hadir dalam kesempatan itu, menambahkan pentingnya kesungguhan dalam beribadah dan menjaga keharmonisan keluarga. “Keluarga yang terbebas dari riba akan lebih tenteram, karena rezekinya bersih,” ujarnya.

Data Bank Indonesia menunjukkan, lebih dari 70 persen masyarakat Indonesia masih menggunakan produk keuangan berbasis bunga. Sementara lembaga keuangan syariah baru menguasai sekitar 10 persen pangsa pasar. Kondisi ini menunjukkan masih terbukanya ruang dakwah untuk mendorong kesadaran ekonomi syariah di tingkat akar rumput.

Bagi warga LDII, pengajian seperti ini bukan sekadar agenda keagamaan, tetapi juga sarana memperkuat kesadaran ekonomi dan moral. “Kami ingin membangun usaha yang halal sepenuhnya, mulai dari keluarga sendiri,” ujar Ahmad, seorang pelaku UMKM asal Citeureup yang rutin mengikuti kajian.




Gerakan Sunyi dari Masjid


Di tengah derasnya arus gaya hidup instan dan pinjaman daring, pengajian seperti ini terasa seperti gerakan sunyi yang berusaha mengembalikan kehidupan ke jalan yang lebih bersih. Tidak dengan teriak-teriak di jalan, tapi dengan kesadaran yang tumbuh di hati jamaah.

Seusai doa penutup, jamaah bergegas saling bersalaman. Suasana cair, hangat, dan penuh tawa kecil.
Dari sini, dari ruang kecil bernama Masjid Baitul Kabir, kesadaran itu terus disemai — bahwa melawan riba bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal menjaga keberkahan hidup.


Laporan: Jumanto | Editor: Mahar Prastowo