Oleh : En Jacob Ereste
Jika kubu Anas Urbaningrum merasa dizalimi – atau bahkan dikudeta – oleh Susilo Bambang Yudhoyono dalam konteks pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat wajar-wajar saja. Agaknya, itu semua tetap mengacu dan bersandar pada etika politik yang baku. Ikhwalnya, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengambil alih tugas Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Sementara Anas Urbaningrum sendiri diminta untuk fokus menghadapi masalah hukum yang sedang dia hadapi.
Menurut sumber dari lingkungan Partai Demokrat, dalam Pasal 13 AD/ART Partai Demokrat, majelis tinggi tidak memiliki kewenangan untuk mengambil alih posisi ketua umum. "Jadi, karena tidak ada dalam pasal, berarti majelis tinggi telah mengambil alih – kalau tidak bisa dikatakan mengudeta Ketua Umum PD – dengan mengambil semua tugas Ketua Umum Partai Demokrat itu, dan ini sudah melanggar AD/ART Partai.
Kekecewaan kader Partai Demokrat ini, akibat langkah yang diambil oleh SBY. Menurut fungsionaris partai penguasa ini, jika AD/ART dilanggar, maka akan menjadi preseden buruk. Diinformasikan juga, saat ini Anas Urbaningrum masih kuat menyandang jabatannya sebagai Ketua Umum. Apalagi, hamper semua DPD dan DPC Partai Demokrat masih memberikan dukungan dan loyal terhadap kepemimpinan Anas Urbaningrum.
Jadi secara konstitusional, SBY telah melanggar peraturan partai maupun etika politik yang sepatutnya dijunjung tinggi dalam membangun budaya demokrasi di negeri ini. Apapaun alasannya, seperti diungkap Max Sopacua sekalipun , selaku Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, bahwa dengan turun tangannya Ketua Dewan Pembina Partai, Susilo Bambang Yudhoyono, menangani partai karena kondisi Partai Demokrat sudah darurat, sesungguhnya tidak bisa dibenarkan.
Pembelaan dan pembenaran Max Sopacua terhadap tindakan SBY dengan merinci selama delapan tahun menjadi Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono tidak pernah seserius ini mengurus partai, tetap tidak bisa diterima, baik secara konstitusional maupun dalam tatan etika politik. Apalagi kemudian, membandingkan dengan presiden sebelumnya yang selalu menyisihkan waktu untuk mengurus partai. Artinya, dalam kondisi darurat dan emergency seperti apapun, mengambilalih Kepemimpinan Partai secara paksa – tanpa melalui mekanisme yang berlaku – itu sama saja kudeta.
Pada sisi lain, sebagai Presiden, SBY tidak dibenarkan oleh UU No. 42 / 2008 Tentang yang menyatakan pejabat Negara, tidak boleh menduduki Ketua Umum Partai Politik. Dengan kata lain, dalam konteks hokum ketatanegaraan, SBY pun tekah melakukan pelanggaran. Lain halnya jika pada saat yang sama pula langsung mengundurkan diri atau meletakkan jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia.
Permintaan Max Sopacua meminta kepada para pengamat politik agar tidak asal berbicara mengenai kondisi Partai Demokrat, pun jelas tidak mengidahkan kondisi obyektif masyarakat yang harus dibangun dan disadarkan atas apa yang terjadi sesungguhnya pada hari ini di ranah politik, sehingga control etika dan penegakan hukum yang berlandaskan pada konstitusi harus dibangun bersama. Kondisi obyektif di ranah politik pun tidak bisa dimonopoli oleh Partai Demokrat – apalagi hanya sebatas fungsionaris partai – yang Cuma ingin mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Apa yang terjadi pada saat ini di tubuh partai, patut diketahui dan dijadikan pembelajaran bagi segenap warga bangsa Indonesia untuk secara bersama membangun suasna politik yang kondusif dan sehat. Ukuran kondusif dan sehat pun tidak bisa dimonopoli oleh satu pihak, apalagi hanya untuk Max Sopacua semata-mata.
Pendapat Max Sopacua yang menjelaskan bahwa langkah apa pun yang diambil SBY pasti bertujuan untuk memperbaiki Demokrat, bisa saja benar adanya. Namun dipihak lain, tidakkah ada pihak yang dirugikan, baik dalam takaran etika dan moral politik maupun dalam bentuk kerugian yang lain ? Jika Max Sopacua menyatakan bahwa, "Yang penting partai ini selamat, wong yang kami tabrak rumah kami sendiri", pernyataan ini jelas akan semakin memperburuk keadaan, karena mengabaikan pendapat dan sikap publik yang menjadi korban akibat berita buruk dari kekisruhan partai yang menteror nyaris setiap hari itu.
Cerita dan berita tentang terbaringnya Anas Urbaningrum di tempat tidar, sebagaimana yang gencar dilansir media massa , Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum diberitakan sakit, jelas sangat mengusik ketentraman public. Setidaknya rasa empati atas beragam masalah yang mendera politisi muda yang sangat diharapkan menjadi pemimpin Indonesia di masa depan itu, kini jadi layu sebelum berkembang. Artinya, ikut mengusik dan mengecewakan publik.
Budaya kudeta dalam politik Indonesia yang mulai dilakukan SBY ini, boleh jadi akan menjadi pelajaran – atau bahkan contoh yang baik – terutama bagi generasi berikutnya. Adakah budaya serupa akan lestari dan berkembah hingga berputik bunga yang kelak akan kita tuai pula ?
Entahlah ! Sebab gejolak politik mungkin masih akan lebih membadai dan meporak porandakan etika dan tata budaya kita dalam berbangsa dan bernegara. ***
En Jacob Ereste
Sekjen DPP MIG SBSI
Jl. Tanah Tinggi 2 No. 25
Jakarta Pusat
Hp: 08197975737
08211745533
Jika kubu Anas Urbaningrum merasa dizalimi – atau bahkan dikudeta – oleh Susilo Bambang Yudhoyono dalam konteks pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat wajar-wajar saja. Agaknya, itu semua tetap mengacu dan bersandar pada etika politik yang baku. Ikhwalnya, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengambil alih tugas Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Sementara Anas Urbaningrum sendiri diminta untuk fokus menghadapi masalah hukum yang sedang dia hadapi.
Menurut sumber dari lingkungan Partai Demokrat, dalam Pasal 13 AD/ART Partai Demokrat, majelis tinggi tidak memiliki kewenangan untuk mengambil alih posisi ketua umum. "Jadi, karena tidak ada dalam pasal, berarti majelis tinggi telah mengambil alih – kalau tidak bisa dikatakan mengudeta Ketua Umum PD – dengan mengambil semua tugas Ketua Umum Partai Demokrat itu, dan ini sudah melanggar AD/ART Partai.
Kekecewaan kader Partai Demokrat ini, akibat langkah yang diambil oleh SBY. Menurut fungsionaris partai penguasa ini, jika AD/ART dilanggar, maka akan menjadi preseden buruk. Diinformasikan juga, saat ini Anas Urbaningrum masih kuat menyandang jabatannya sebagai Ketua Umum. Apalagi, hamper semua DPD dan DPC Partai Demokrat masih memberikan dukungan dan loyal terhadap kepemimpinan Anas Urbaningrum.
Jadi secara konstitusional, SBY telah melanggar peraturan partai maupun etika politik yang sepatutnya dijunjung tinggi dalam membangun budaya demokrasi di negeri ini. Apapaun alasannya, seperti diungkap Max Sopacua sekalipun , selaku Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, bahwa dengan turun tangannya Ketua Dewan Pembina Partai, Susilo Bambang Yudhoyono, menangani partai karena kondisi Partai Demokrat sudah darurat, sesungguhnya tidak bisa dibenarkan.
Pembelaan dan pembenaran Max Sopacua terhadap tindakan SBY dengan merinci selama delapan tahun menjadi Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono tidak pernah seserius ini mengurus partai, tetap tidak bisa diterima, baik secara konstitusional maupun dalam tatan etika politik. Apalagi kemudian, membandingkan dengan presiden sebelumnya yang selalu menyisihkan waktu untuk mengurus partai. Artinya, dalam kondisi darurat dan emergency seperti apapun, mengambilalih Kepemimpinan Partai secara paksa – tanpa melalui mekanisme yang berlaku – itu sama saja kudeta.
Pada sisi lain, sebagai Presiden, SBY tidak dibenarkan oleh UU No. 42 / 2008 Tentang yang menyatakan pejabat Negara, tidak boleh menduduki Ketua Umum Partai Politik. Dengan kata lain, dalam konteks hokum ketatanegaraan, SBY pun tekah melakukan pelanggaran. Lain halnya jika pada saat yang sama pula langsung mengundurkan diri atau meletakkan jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia.
Permintaan Max Sopacua meminta kepada para pengamat politik agar tidak asal berbicara mengenai kondisi Partai Demokrat, pun jelas tidak mengidahkan kondisi obyektif masyarakat yang harus dibangun dan disadarkan atas apa yang terjadi sesungguhnya pada hari ini di ranah politik, sehingga control etika dan penegakan hukum yang berlandaskan pada konstitusi harus dibangun bersama. Kondisi obyektif di ranah politik pun tidak bisa dimonopoli oleh Partai Demokrat – apalagi hanya sebatas fungsionaris partai – yang Cuma ingin mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Apa yang terjadi pada saat ini di tubuh partai, patut diketahui dan dijadikan pembelajaran bagi segenap warga bangsa Indonesia untuk secara bersama membangun suasna politik yang kondusif dan sehat. Ukuran kondusif dan sehat pun tidak bisa dimonopoli oleh satu pihak, apalagi hanya untuk Max Sopacua semata-mata.
Pendapat Max Sopacua yang menjelaskan bahwa langkah apa pun yang diambil SBY pasti bertujuan untuk memperbaiki Demokrat, bisa saja benar adanya. Namun dipihak lain, tidakkah ada pihak yang dirugikan, baik dalam takaran etika dan moral politik maupun dalam bentuk kerugian yang lain ? Jika Max Sopacua menyatakan bahwa, "Yang penting partai ini selamat, wong yang kami tabrak rumah kami sendiri", pernyataan ini jelas akan semakin memperburuk keadaan, karena mengabaikan pendapat dan sikap publik yang menjadi korban akibat berita buruk dari kekisruhan partai yang menteror nyaris setiap hari itu.
Cerita dan berita tentang terbaringnya Anas Urbaningrum di tempat tidar, sebagaimana yang gencar dilansir media massa , Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum diberitakan sakit, jelas sangat mengusik ketentraman public. Setidaknya rasa empati atas beragam masalah yang mendera politisi muda yang sangat diharapkan menjadi pemimpin Indonesia di masa depan itu, kini jadi layu sebelum berkembang. Artinya, ikut mengusik dan mengecewakan publik.
Budaya kudeta dalam politik Indonesia yang mulai dilakukan SBY ini, boleh jadi akan menjadi pelajaran – atau bahkan contoh yang baik – terutama bagi generasi berikutnya. Adakah budaya serupa akan lestari dan berkembah hingga berputik bunga yang kelak akan kita tuai pula ?
Entahlah ! Sebab gejolak politik mungkin masih akan lebih membadai dan meporak porandakan etika dan tata budaya kita dalam berbangsa dan bernegara. ***
En Jacob Ereste
Sekjen DPP MIG SBSI
Jl. Tanah Tinggi 2 No. 25
Jakarta Pusat
Hp: 08197975737
08211745533
Tidak ada komentar