Teddy Rusdy, Sang Arsitek Kredibilitas Intelijen RI

LUGAS | Profil - Bersama Benny Moerdani, Teddy Rusdy berhasil membangun suatu sistem intelijen yang solid, terpusat, reliable, akurat, relevan dan timely untuk NKRI

Serangan teroris di suatu negara bisa dipandang sebagai salah satu parameter untuk mengukur kinerja badan intelijen. Badan intelijen akan dinilai tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, jika tidak memiliki kemampuan untuk menangkal aksi teror. Faktanya, di Indonesia, hampir semua serangan teroris dengan peledakan bom tidak terantisipasi badan intelijen.

“Hingga hari ini, Indonesia miskin kader intelijen yang bagus. Intelijen yang dahulu sudah dibangun dengan baik, dihancurkan sendiri. Intelijen yang dahulu dibangun boleh dibabat, tetapi harus diganti dengan yang baru. Apakah intelijen Indonesia saat ini sudah dibangun kembali seperti di era Benny Moerdani?”

Pertanyaan menggelitik itu disampaikan Marsekal Muda TNI (Purn) Teddy Rusdy, mantan Asrenum Pangab yang lebih dari 20 tahun berjibaku membangun intelijen yang kredibel di Indonesia.

Kegundahan Teddy Rusdy itu bukan tanpa alasan. Saat ini, sisa intelijen yang powerfull tidak nampak lagi. Di era Leonardus Benjamin Moerdani, intelijen bisa bersandar kepada aparat teritorial hingga ke Babinsa, sebaliknya, saat ini bisa dikatakan aparat teriritorial tidak bekerja, bahkan “anak panah” pun tidak ada.

Jenderal bintang dua yang menghabiskan duapertiga karir militernya di Intelijen Hankam ini dikenal memiliki konsep cemerlang terkait intelijen. Pada Sesko ABRI tahun 1974, Teddy membuat analisa yang cukup berani, karena mengandung politik tingkat tinggi. Bagaimana tidak, Teddy yang ketika itu berpangkat Mayor Udara menyatakan bahwa “Peristiwa Malari 1974” merupakan klimaks dari rival top level antara Aspri Presiden Soeharto, Letjen TNI Ali Murtopo dengan Jenderal Sumitro, Pangkopkamtib/Wapangab (1971-1974).

Teddy berargumen, dengan adanya “dua matahari”, presiden secara langsung mendapatkan dua assesment yang berbeda terkait resiko gerakan mahasiswa ketika itu. Di mana, menurut Ali Moertopo gerakan mahasiswa sudah berbahaya, sementara menurut Sumitro, gerakan mahasiswa merupakan konsekwensi logis dari semakin terdidiknya masyarakat.

Menurut Teddy, presiden sebagai user, tidak boleh menerima produk intelijen lebih dari satu. User intelijen jangan sampai diberikan berbagai penilaian intelijen, tetapi satu penilaian intelijen yang solid. Jika penilaian intelijen itu salah, kepalanya harus mengundurkan diri. Ketentuan ini berlaku umum dan tetap.

Sikap tegas dan cerdas inilah yang pada akhirnya membuat Asisten Intelijen Hankam/Kopkamtib ketika itu, Benny Moerdani, menarik Teddy ke barisan Intelijen Hankam.

Pasca meletusnya “Malari”, Presiden Soeharto menugaskan langsung Mayjen Benny Moerdani untuk menata ulang intelijen RI. Utamanya mengendalikan seluruh wadah intelijen ABRI, Kopkamtib dan nasional, yakni Asisten Intelijen ABRI, Pusat Intelijen Strategis, Asisten Intelijen Kopkamtib, Satuan Tugas Screening Pusat, Satuan Tugas Intelijen Kopkamtib, di mana Mayjen Benny Moerdani sebagai pimpinannya, dan Wakil Kepala Bakin.

Tentunya tidak mudah menata ulang intelijen NKRI, khususnya reabilitas dan soliditas produk-produk intelijen negara. Untuk menata organisasi intelijen Benny meminta waktu sepuluh tahun. Dalam hal ini dapat diartikan Benny selama sepuluh tahun siap untuk tidak ganti jabatan yang juga sekaligus tidak naik pangkat.

Bersama Teddy Rusdy, Benny berhasil menyusun sebuah intelligence community dari tujuh badan intelijen yang dipimpin satu komandan. Ketika itu Benny juga menjabat sebagai Wakil Kepala Bakin. Dengan intelijen yang solid dan terpusat, masa itu diibaratkan sebuah jarum jatuhpun, Benny “mendengar”. Intelijen menjadi sangat kuat, sangat sensitif dan powerfull.

Dalam buku bertajuk “Think Ahead: 70 Tahun Teddy Rusdy” dicatat, bahwa bersama Benny Moerdani, Teddy Rusdy berhasil membangun suatu sistem intelijen yang solid, terpusat, reliable, akurat, relevant dan timely untuk NKRI.

Operasi Alpha

Tidak sebatas teori dan analisis, Teddy Rusdy terlibat langsung dalam operasi intelijen. Mantan Paban VIII Staf Intel Hankam dan Direktur “E”-Renlitbang Bais ini memiliki peran sentral dalam “Operasi Alpha”, operasi untuk membawa masuk pesawat A-4E Skyhawk dari Israel ke zona NKRI.

Dalam buku “Menari di Angkasa: Djoko F Poerwoko” dicatat, bahwa Operasi Alpha merupakan operasi klandestin terbesar yang dilakukan oleh TNI AU, sebagai upaya TNI AU melatih pilot dan melakukan pembelian 32 pesawat A-4 Skyhawk dari Israel melalui Israeli Defences Forces (IDF).

Sasaran Operasi Alpha adalah membawa masuk pesawat-pesawat A-4 Skyhawk dengan tanpa menimbulkan gejolak di masyarakat Indonesia dan tanpa ganjalan dari Pemerintah Amerika Serikat. Ketika itu, kondisi nasional, regional dan internasional memang sedang memasuki fase Perang Dingin babak kedua (1979-1980), Blok Pakta Warsawa dan Blok NATO bersaing mempersenjatai diri. Dalam hal ini, Teddy dan tim yang tergabung dalam Operasi Alpha siap mengambil resiko dalam pekerjaannya untuk kepentingan bangsa dan keamanan NKRI.

Operasi klandestin di era KSAU Marsekal TNI Ashadi Tjahyadi itu tidak lepas dari kolaborasi agen Mossad Israel, Jerry Hessel dan Teddy Rusdy. Jerry berupaya membangun hubungan diplomatik RI-Israel saat ditugaskan di Jakarta. Jerry bertindak sebagai fasilitator Operasi Alpha.

Di mata Israel, Teddy adalah person of contact dan point of contact Israel ke RI baik ke level pemerintahan, pusat kekuasaan dan intelijen RI. Tak salah jika dalam Operasi Alpha, Teddy bertanggungjawab atas pelaksanaan semua proyek, mulai dari hal-hal yang strategis hingga ke operasional. Bahkan, Teddy memimpin operasi membongkar empat pesawat A-4E Skyhawk sekaligus. Teddy juga memimpin operasi pemindahan 32 pesawat A-4E Skyhawk dari Pelabuhan laut Elat di Israel ke Tanjung Priok di Jakarta.

Operasi yang tergolong incredibel operation ini menuai sukses. Hingga di penghujung 1980, 32 pesawat Skyhawk tiba di Indonesia, tanpa diketahui media massa dan masyarakat dari mana asalnya. Penampilan pertama A-4 Skyhawk di hadapan publik dilakukan pada HUT ABRI, 5 Oktober 1980 bersama dengan pesawat F5 Tiger II dari Skadron Udara 14.

Kendati tergolong operasi sangat rahasia, pada tahun 1982, Pemerintah RI mengakui secara terbuka bahwa wakil Pemerintah RI telah melakukan dealing dengan Israel melalui pihak ketiga. Ketika itu pemerintah juga menyatakan bahwa RI menentang aneksasi Israel atas Dataran Tinggi Golan dan intervensi militer Israel di Lebanon.

Sebagai insan intelijen sejati, Teddy Rusdy dikenal menjunjung tinggi profesionalisme. Tak salah jika Teddy dekat dengan semua kalangan. Kendati dekat dengan intelijen Israel, yang notabene musuh Islam, Teddy juga menjalin hubungan dekat dengan dunia Islam.

Salah satu kelompok yang dikenal dekat dengan Teddy adalah pejuang Mujahidin Afghanistan. Teddy terlibat langsung dalam operasi khusus bantuan pasokan senjata dari Indonesia untuk Mujahidin. Dalam pertemuan rahasia dengan Kepala Intelijen Pakistan, disepakati intelijen Indonesia akan memasok senjata buatan Uni Soviet yang ada di Indonesia kepada Mujahidin yang sedang berjuang melawan pasukan Uni Soviet.

Setelah mendapatkan persetujuan dari Presiden Soeharto, agen Intelijen Hankam ditugaskan untuk mengumpulkan senjata produk Uni Soviet di gudang-gudang senjata milik ABRI. Setidaknya terkumpul logistik dan persenjataan untuk kelengkapan dua batalion infantri.

Selanjutnya, senjata diangkut menggunakan Boeing 707 Pelita Air Service menuju Rawalpindi, Pakistan Utara, melalui Diego Garcia, dengan cover bantuan kemanusiaan. Operasi rahasia ini dikomando langsung oleh Teddy Rusdy. Juli 1981, senjata yang diselipkan di antara kotak obat-obatan itu, dibawa ke Attock, Nowshera, Peshawar, melalui Khyber Pass. Bantuan diterima pimpinan Mujahidin di Nagarhar.

Operasi Pembebasan Woyla


Di antara fakta sejarah, operasi “Pembebasan Woyla” mungkin menjadi puncak dari eksistensi intelijen Indonesia era Teddy Rusdy. Operasi Woyla merupakan operasi pembebasan pesawat DC-9 Woyla, Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan 206, tujuan Jakarta-Medan yang dibajak pada 28 Maret 1981. Pembajak memaksa pilot untuk menerbangkan pesawat ke Kolombo, Sri Lanka. Namun, dengan keterbatasan bahan bakar, pesawat diarahkan ke Malaysia untuk selanjutnya ke Bandara Don Muang, Thailand.

Sebagai Paban VIII Staf Intel Hankam ketika itu, Teddy Rusdy sempat diminta Benny Moerdani untuk menghubungi Menteri Dalam Negeri Malaysia Datuk Ghazali Syafei. Hanya saja upaya Teddy meminta Ghazali Syafei, agar menghentikan “Woyla”, tidak bisa dipenuhi Malaysia. Tidak ada pilihan lain, diputuskan operasi pembebasan digelar di Don Muang. Untuk operasi pembebasan, disiapkan 35 anggota Kopassandha (Kopassus) yang dipimpin Letkol Sintong Panjaitan.

Untuk mempermudah operasi, Teddy meminta Garuda Indonesia menyediakan satu jenis DC-9 sebagai simulasi operasi Pembebasan Woyla. Perwira Navigator  AU ini harus mempelajari sistem elektronik, elektrik dan optik di kokpit “Woyla”.

Sekitar pukul 02.45 WIB, 31 Maret 1981, 30 anggota Kopassandha berhasil mendobrak dan masuk ke dalam pesawat. Lima pembajak berhasil dilumpuhkan. Hanya saja, Letnan Ahmad Kirang dan Pilot Herman Rante gugur. Dalam operasi fenomenal ini, Teddy Rusdy dan Benny Moerdani ikut menerobos masuk pesawat. Teddy sempat mengoperasikan panel elektrik dan elektronik Woyla untuk mempermudah operasi.

Pelaku pembajakan “Woyla” sejatinya sudah terendus sejak intelijen yang disusupkan Teddy ditemukan tewas pada jam tiga pagi menjelang pembajakan Woyla. Dalam analisa intelijen, Teddy sudah mencurigai Komando Jihad Kelompok Imron yang sebelumnya menyerang pos polisi di Cicendo, Bandung, Jawa Barat. 

De-Benny-sasi

Sepak terjang Teddy Rusdy bersama Benny Moerdani dalam membangun intelijen RI yang tangguh memang pada akhirnya terhenti. Benny Moerdani dituding akan mendongkel kekuasaan Presiden Soeharto. “Pada saat intelijen RI sangat kuat, Benny Moerdani diganti. Soeharto tidak rela ada ‘rumput lain yang tumbuh’. Soeharto tidak ingin ada orang lain yang bersaing dengannya. Benny Moerdani sadar sebagai seorang Indo, berdarah Jerman/Belanda dari ibu, dan beragama Katolik , berulang kali bicara, bahwa dirinya tidak mungkin menjadi Presiden RI," kenang Teddy Rusdy.

Teddy Rusdy menyadari, bahwa apa saja yang powerfull akan memunculkan iri hati. “Benny Moerdani sudah mengadakan assesment intelijen, jika pada saatnya Kopkamtib harus bubar. Karena Kopkamtib adalah ekstra struktural. Hanya saja, meskipun Kopkamtib bubar, tetapi fungsi-fungsinya jangan sampai bubar. Akibatnya intelijen yang sudah dibangun dihancurkan sendiri,” tegas Teddy Rusdy.

Pada 24 Februari 1988, Benny Moerdani harus meletakkan jabatan Pangab, dan sebagai pengganti dipilih Jenderal TNI Try Sutrisno. Ketika terjadi berbagai pergeseran di lingkungan ABRI itulah muncul isu “de-Benny-sasi”, yakni dipangkasnya “networking” Benny Moerdani di Mabes ABRI. Sasaran dari isu itu tentu saja orang-orang terdekat Benny Moerdani. Siapa lagi kalau bukan Asrenum Pangab Mersekal Muda Teddy Rusdy, yang menjadi orang kepercayaan Benny sejak 1974.

Dalam buku “Teddy Rusdy: ‘Mengundurkan Diri” diungkapkan bahwa Try Sutrisno  sampai tiga kali diminta Presiden Soeharto untuk menggantikan Asrenum Pangab. Namun, Try Sutrisno menolak permintaan Soeharto menggantikan Asrenum Pangab Marsekal Muda Teddy Rusdy.

Setelah mencermati berbagai peristiwa di Indonesia awal abad 21, Teddy Rusdy menyimpulkan bahwa “de-Benny-sasi” adalah upaya melumpuhkan suatu sistem yang telah dibangun bertahun-tahun sejak tahun 1974. De-Benny-sasi adalah upaya menghancurkan kehandalan sistem intelijen RI yang seksama, terpusat, menyeluruh, akurat, relevan dan tepat waktu dalam rangka mendukung pembuatan keputusan pemerintah dan ketata-negaraan yang legal, tepat, benar dan jauh ke depan.

 

Profil

Nama:
Marsekal Muda TNI (Purn) Teddy Rusdy

Tempat/Tanggal Lahir:
Jakarta, 11 Mei 1939

Agama:
Islam

Pendidikan:
– SMA B Boedi Oetomo (1959)
– Air Force Flying College, India (1961)
– Sekkau Angkatan 11 (1971)
– Sesko ABRI Bagian Laut Angkatan ke-1 (1975)
– Sesregkt Seskogab Angkatan ke-1 (1978)

Karir:
– Pav Skad 42 Wops Iwy (1963)
– Pa. Ops. Lanu Iwy (1969)
– Dan Lanu Rembiga (1969)
– Dan Denma Makodau VI (1970)
– Karo Paban VI/Milhan Sintel Hankam (1974)
– Patun Seskogab, Bandung (1979)
– Paban VIII Staf Intel Hankam (1980)
– Direktur “E”/Renlitbang BAIS (1983)
– Asrenum Pangab (1986)
– Asrenum Pangab (1987-1992)
– Anggota MPR Utusan Golkar ABRI (1987-1992)

Organisasi:
– Ketua DPD Golkar Lombok Barat (1972)
– Sekretaris DPD Golkar  Prov Nusa Tenggara Barat (1973)

Tanda Jasa/Penghargaan:
– Bintang Shakti
– Bintang Dharma
– Bintang Yudha Dharma
– Bintang Swa Bhuwana Paksa Pratama
– Bintang Swa Bhuwana Paksa Nararya
– Satyalencana Kesetiaan VIII
– Satyalencana Kesetiaan XVI
– Satyalencana Kesetiaan XXIV
– Satyalencana Stya Dharma
– Satyalencana Wira Dharma
– Satyalencana Dwidya Sistha
– Satyalencana Penegak
– Meritorius Services Medal (Military) Republic of Singapore
– Meritorius Services Medal (Military) Republic of Korea





Tidak ada komentar