Tiga pimpinan KPK mengembalikan mandat pengelolaan KPK ke Presiden Jokowi. Kinerja KPK terancam berhenti.
Pengembalian mandat pengelolaan KPK disampaikan dalam jumpa pers Ketua KPK Agus Rahardjo dan 2 wakil lainnya yakni Laode M Syarif dan Saut Situmorang. Pengembalian mandat ini dilakukan menyikapi kondisi KPK yang berada di ujung tanduk setelah revisi UU KPK dibahas cepat di DPR.
"Kami pimpinan, yang merupakan penanggung jawab tertinggi di KPK, dengan berat hati pada hari ini, Jumat, 13 September 2019, kami menyerahkan tanggung jawab pengelolaan KPK kepada Bapak Presiden RI. Kami menunggu perintah," ujar Agus dalam jumpa pers di gedung KPK, Jumat (13/9).
Pimpinan KPK--kecuali Basaria Pandjaitan dan Alexander Marwata yang tak hadir-- mengaku prihatin dengan kondisi pemberantasan korupsi yang semakin mencemaskan. KPK disebut seperti dikepung dari berbagai sisi.
"Tentunya dengan penyerahan mandat ini, terus masalah hiruk pikuk terkait masalah sebelumnya pemilihan capim KPK, revisi UU KPK dan hal lain, ini membuat pegawai juga terganggu dalam melakukan pekerjaan dan ini tentunya merugikan sekali," kata penyidik senior KPK Novel Baswedan kepada wartawan, Sabtu.
"Pemeriksaan masih bisa berjalan, tapi seefektif apa bisa berlangsung dengan suasana yang seperti ini? Belum lagi isu yang disampaikan bahwa pemerintah dan DPR akan segera menyelesaikan revisi UU di hari Selasa. Ini suatu hal yang meresahkan, bayangkan ketika hal yang dibahas itu krusial dan sangat efektif mematahkan kaki KPK. Apakah itu terus bisa dianggap biasa-biasa saja? Terus kita kerja dengan santai, rasanya nggak masuk akal begitu," tegas Novel.
Ada tiga aspek yang mendasari kebuntuan KPK. Pertama, pernyataan pimpinan KPK yang menegaskan KPK tidak dilibatkan dalam proses pembentukan RUU KPK.
Kedua, proses pembentukan RUU revisi UU KPK dinilai PSHK sudah bermasalah sejak awal. Selain melanggar Undang-Undang 12/2011 dan Tata Tertib DPR karena prosesnya tidak melalui tahapan perencanaan, penyiapan draf RUU dan naskah akademik dilakukan tertutup tanpa pelibatan publik secara luas.
Ketiga, PSHK mengutip pernyataan pimpinan Ombudsman, Ninik Rahayu, yang menyebut terjadi keanehan dalam poses administrasi pembentukan.
"Untuk merespons kondisi tersebut, PSHK mendorong Presiden Joko Widodo untuk menarik kembali surpres dalam proses pembentukan RUU Revisi UU KPK. Penarikan kembali dapat dilakukan dengan berdasar kepada asas contrarius actus, yaitu asas dalam hukum administrasi negara yang memberikan kewenangan pada pejabat negara untuk membatalkan keputusan yang sudah ditetapkannya. Artinya, Presiden berwenang untuk membatalkan atau menarik kembali surpres yang sudah ditetapkan sebelumnya," papar Fajri.
Sedangkan Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik keras kesepakatan pemerintah dan DPR terkait revisi UU KPK yang melemahkan KPK. ICW mewanti-wanti Presiden Jokowi.
"Penting untuk dicatat, publik tidak lupa dengan janji menguatkan KPK yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam Nawacita pada saat kampanye 2014 yang lalu. Jangan sampai justru pemerintahan Jokowi-JK masuk dalam sejarah Republik Indonesia yang membidani kehancuran lembaga antikorupsi Indonesia," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana.
Jokowi-JK memang memiliki sembilan agenda prioritas atau Nawacita yang disampaikan selama kampanye Pilpres 2014. Salah satunya 'Kami akan memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya'.
Hal serupa diungkapkan peneliti Transparency Internasional Indonesia (TII). Jokowi disebut mengkhianati janji politiknya.
Kembali ke soal revisi UU KPK, Alvin turut membela Agus Rahardjo, yang menyerahkan tanggung jawab pengelolaan KPK kepada Jokowi. Menurutnya, kalau memang revisi UU mau memperkuat KPK, seharusnya publik didengarkan dan KPK dilibatkan. (Det)
Foto : net
Yusuf/Mahar
Tidak ada komentar