LUGAS | Jakarta — Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 menjadi ujian penting bagi demokrasi di Indonesia. Proses yang menjadi simbol aspirasi rakyat ini kerap diwarnai oleh pelanggaran dan sengketa yang mengancam legitimasi hasil pemilihan. Hal ini disampaikan oleh Partono, mantan anggota KPU DKI Jakarta periode 2018-2023, dalam Rapat Kerja Divisi Hukum dan Penyelesaian Sengketa Bawaslu Jakarta Timur, Minggu (17/11/2024), di Park Hotel Cawang, Jakarta.
Acara tersebut dihadiri oleh Komisioner Bawaslu Jakarta Timur Divisi Penanganan Pelanggaran, Data dan Informasi Ahmad Syarifudin Fajar, divisi panwascam dari 10 kecamatan se-Jakarta Timur dan berbagai pemangku kepentingan. Acara dibuka oleh Koordinator Divisi Hukum dan Penyelesaian Sengketa Bawaslu Jakarta Timur, Prayogo Bekti Utomo, yang menekankan pentingnya integritas dalam pengawasan Pilkada.
“Ini bukan tugas yang ringan. Pengawas kecamatan memegang peran penting dalam menjaga hak pilih rakyat dan integritas pemilu. Pelanggaran yang terjadi di tingkat TPS akan bermuara pada pengawasan kecamatan. Artinya, kecamatan adalah pintu pertama untuk memastikan keadilan pemilu,” ujar Partono.
Jenis Pelanggaran Pilkada
Partono menjelaskan bahwa pelanggaran Pilkada dapat dikelompokkan dalam empat kategori utama:
1. Pelanggaran Kode Etik: Ketidaksesuaian perilaku penyelenggara dengan sumpah jabatan.
2. Pelanggaran Administrasi: Pelanggaran tata cara dan prosedur administrasi.
3. Pelanggaran Pidana: Misalnya politik uang dan intimidasi.
4. Sengketa Pemilihan: Perselisihan antar peserta atau antara peserta dan penyelenggara.
Tahapan Rawan Pelanggaran
Bawaslu mencatat sejumlah tahapan yang rentan terjadi pelanggaran:
Pemutakhiran Daftar Pemilih: Manipulasi data pemilih.
Kampanye: Politik uang, kampanye hitam, hingga netralitas aparatur sipil negara (ASN).
Pemungutan Suara: Pelanggaran penggunaan hak pilih ganda atau intimidasi.
Rekapitulasi Suara: Manipulasi hasil rekapitulasi.
Problematika dalam Penanganan Pelanggaran
Menurut Partono, penanganan pelanggaran Pilkada menghadapi sejumlah kendala. Regulasi yang ada belum mengatur semua jenis pelanggaran secara rinci, sementara kapasitas sumber daya manusia (SDM) penegak hukum masih terbatas. Selain itu, intervensi politik sering kali menghambat independensi aparat, ditambah dengan rendahnya partisipasi masyarakat dalam melaporkan pelanggaran.
“Banyak masyarakat yang takut atau apatis. Padahal, partisipasi mereka adalah kunci sukses pengawasan Pilkada,” katanya.
Strategi Penanganan Pelanggaran
Bawaslu merancang strategi berbasis tiga pilar:
1. Pencegahan:
Edukasi kepada masyarakat dan peserta Pilkada.
Kampanye melawan politik uang dan penyalahgunaan ASN.
2. Pengawasan:
Pemanfaatan teknologi untuk pengaduan pelanggaran.
Sinergi dengan media massa, KPU, dan aparat hukum
3. Penindakan:
Optimalisasi Sentra Gakkumdu untuk menangani pelanggaran pidana.
Transparansi proses penanganan untuk memberikan efek jera.
Edukasi dan Efek Jera
Partono menekankan pentingnya edukasi kepada masyarakat untuk memahami konsekuensi hukum dari pelanggaran Pilkada. “Jika masyarakat tahu sanksinya, mereka akan lebih sadar. Sanksi ini bisa berupa administrasi, seperti pembatalan pasangan calon, hingga pidana berupa denda atau kurungan,” jelasnya.
Ia juga menyebutkan bahwa media massa memiliki peran vital dalam mempublikasikan hasil penanganan pelanggaran. “Publikasi keputusan terhadap pelanggaran ini bisa menjadi terapi kejut dan memberikan efek jera,” tambah Partono.
Sinergi antar lembaga, regulasi yang kuat, dan kesadaran masyarakat adalah faktor utama dalam menjaga integritas Pilkada. “Bawaslu harus menjadi katalisator, memastikan keadilan pemilu dan menjaga kepercayaan publik,” tutup Partono.
Dengan strategi ini, harapannya Pilkada 2024 dapat melahirkan pemimpin yang berkualitas, sekaligus memperkuat demokrasi di Indonesia.
Galeri Kegiatan Rapat Kerja Divisi Hukum dan Penyelesaian Sengketa Bawaslu Kota Administrasi Jakarta Timur
Minggu, 17 Nopember 2024
Tidak ada komentar