LUGAS | Jakarta – Sejumlah tokoh masyarakat dan kelompok sipil menggelar konferensi pers serta pembacaan petisi di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Menteng, Jakarta Pusat, Senin (17/3). Mereka menyatakan penolakan terhadap revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang dinilai berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi militer di Indonesia.
Konferensi pers ini dihadiri sekitar 40 orang, termasuk sejumlah tokoh seperti Ketua YLBHI M. Isnur, aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) Sumarsih, akademisi Prof. Sulis, serta Koordinator KontraS Dimas Bagus A. Beberapa organisasi masyarakat sipil yang turut hadir antara lain Perempuan Mahardika, Imparsial, Greenpeace Indonesia, LBH Pers, hingga Amnesty International Indonesia.
Militerisasi di Ruang Sipil
Dalam petisi yang dibacakan, para tokoh masyarakat itu menilai revisi UU TNI tidak memiliki urgensi dalam meningkatkan profesionalisme militer. Sebaliknya, sejumlah pasal dalam draf revisi justru berisiko membawa militer kembali ke ranah sipil, dengan memberi ruang bagi anggota TNI aktif untuk menduduki jabatan di institusi sipil seperti Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
“TNI adalah alat pertahanan negara yang dipersiapkan untuk perang, bukan untuk mengelola urusan sipil,” kata Isnur. Ia menambahkan, perluasan tugas militer yang diatur dalam revisi UU TNI bertentangan dengan prinsip supremasi sipil yang menjadi semangat reformasi 1998.
Menurut Dimas Bagus A, permasalahan utama yang harus didorong bukanlah revisi UU TNI, melainkan reformasi peradilan militer. “UU Peradilan Militer jauh lebih mendesak untuk direvisi agar ada kepastian hukum yang setara bagi anggota TNI yang melanggar hukum,” ujarnya.
Kontroversi Operasi Militer Selain Perang
Selain isu dwifungsi, para peserta konferensi pers juga menyoroti rencana perubahan aturan terkait Operasi Militer Selain Perang (OMSP). RUU TNI yang diajukan pemerintah memungkinkan pelibatan militer dalam berbagai tugas domestik tanpa persetujuan DPR, cukup melalui peraturan pemerintah. Langkah ini dinilai sebagai bentuk pengabaian prinsip kontrol sipil terhadap angkatan bersenjata.
“Kalau kita biarkan, ini bisa mengarah ke dominasi militer dalam kebijakan publik. Masalah narkotika, pangan, bahkan ibadah haji, semua berpotensi berada di bawah kendali TNI,” ujar Sumarsih.
Selain itu, petisi juga menyoroti keterlibatan TNI dalam upaya pemberantasan narkotika yang dinilai tidak sesuai dengan prinsip negara hukum. Mengadopsi pendekatan ‘war model’ seperti yang diterapkan oleh pemerintahan Rodrigo Duterte di Filipina dinilai berisiko memicu pelanggaran HAM.
Konferensi pers dan pembacaan petisi berlangsung selama kurang lebih 30 menit dan berakhir dengan tertib pada pukul 13.50 WIB.
Editor: Mahar Prastowo
Tidak ada komentar