LUGAS | Tebing Tinggi, Tanjab Barat – Gagasan mulia tak selalu berujung manis. Begitulah yang terjadi di Desa Delima, Kecamatan yang jauh dari sorotan kota, ketika niat baik Kepala Desa Samino membangun jembatan permanen justru menimbulkan kerugian pada warganya sendiri.

Semula, warga Desa Delima hidup cukup rukun dengan jembatan kayu yang mereka bangun secara gotong royong. Meski sederhana, jembatan itu fungsional—cukup kuat menahan beban sepeda motor dan pejalan kaki yang lalu-lalang mengurus kebun sawit mereka.

Namun, belum genap sebulan setelah jembatan kayu itu berdiri, datanglah ekskavator dan material pasir, batu sprit, dan baja ke lokasi. Kepala desa memutuskan untuk membangun jembatan permanen. Niatnya: mempermudah akses warga dan meningkatkan produksi kebun sawit. Tetapi kenyataan di lapangan berkata lain.

“Jembatan kayu itu kan masih baru dan kuat untuk setahun ke depan. Mestinya dana desa bisa dipakai untuk hal yang lebih mendesak,” keluh Sumiyem, SH, warga RT 04.

Alih-alih membangun, jembatan kayu malah dibongkar. Proyek jembatan permanen itu terhambat cuaca dan tenaga kerja yang belum memahami teknis konstruksi. Bahkan, bendungan sementara yang dibangun di tiga titik justru jebol di dua lokasi akibat hujan deras dan meluapnya sungai. Bendungan yang tak jebol justru menjadi bumerang: air tertahan dan merendam kebun salah satu warga, menyebabkan kebun sawit rusak, tanah longsor, dan sungai kecil baru terbentuk.

“Sudah tiga kali saya minta agar bendungan dibuka. Tapi Pak Kades tidak menggubris. Terakhir saya temui di kantor desa, dia malah bilang, ‘kalau mau dijebol sendiri, silakan saja,’” kata pemilik kebun yang enggan disebutkan namanya.

Tak hanya itu. Proyek yang sudah memakan waktu berbulan-bulan ini ternyata tak pernah dibahas bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Supardi, anggota BPD Desa Delima, mengaku tidak tahu-menahu soal pembangunan jembatan itu.

“Tidak pernah ada musyawarah. Di Musrenbang pun tidak masuk agenda,” katanya.

Kisah jembatan Delima adalah potret klasik desa yang memiliki niat baik tapi tak dibarengi perencanaan teknis matang, transparansi, serta partisipasi publik. Akhirnya, jembatan tak jadi, kebun tergenang, warga rugi, dan kepala desa diam saja. Sebuah pelajaran pahit dari ambisi yang kurang perhitungan.

Apakah Desa Delima akan menemukan jalan keluar? Atau, jembatan yang rusak itu akan menjadi simbol lain dari kegagalan tata kelola dana desa?

LUGAS akan terus mengikuti perkembangannya.


* * *