Penandatanganan dokumen pelestarian tarombo oleh perwakilan marga Simanjuntak di Bogor


LUGAS | BOGOR — Langit Cibubur mendung perlahan, seakan turut menyertai suasana haru yang menggelayuti sebuah pertemuan keluarga besar di Rumah Makan Kampung Parahyangan, Kota Wisata, Senin siang (12/5). Di ruang sederhana, namun hangat itu, tak sekadar perjamuan keluarga yang berlangsung. Di sanalah sejarah dituliskan kembali. Jejak leluhur disusun. Tarombo---silsilah Batak yang diwariskan turun-temurun---ditata sebagai warisan budaya dan penanda identitas.

Pomparan Ompu Sohatahian Simanjuntak, salah satu cabang dari garis keturunan Ompu Sahunu Simanjuntak, berkumpul lintas generasi. Bukan untuk mengenang masa lalu semata, tetapi untuk membangun kembali fondasi yang menjadi pengikat komunitas: kesadaran akan asal-usul.

“Tarombo bukan sekadar daftar nama,” ujar Johny Rio Breznev Simanjuntak, Ketua Umum terpilih Punguan Pomparan Ompu Sohatahian Simanjuntak Boru & Bere se-Indonesia untuk periode 2025–2028. “Ia adalah bahasa jiwa. Medium untuk mengenal siapa kita, dari mana kita datang, dan ke mana akan pulang.”

Membingkai Waktu Lewat Tarombo


Tarombo dalam budaya Batak bukan hanya struktur silsilah. Ia adalah narasi panjang tentang kehidupan, keberanian, pengorbanan, dan pengembaraan. Dalam bentuknya yang lengkap, tarombo menyambungkan darah dengan tanah kelahiran, nama dengan sejarah, dan keluarga dengan nilai-nilai yang hidup dalam adat.

Sore itu, di tengah suasana penuh kehangatan dan rasa hormat, satu per satu nama leluhur disebut. Dari Ompu Sahunu Simanjuntak/br. Aruan Panopa turun kepada Ompu Bulu Sonak, lalu lahir empat nama besar: Ompu Siantar, Ompu Surung Dihuta, Ompu Parhudorom, dan Ompu Sohatahian.

Sohatahian---anak bungsu atau siampudan ni---menjadi poros utama dalam acara ini. Kini, generasi keturunannya tersebar di berbagai kota di Indonesia, tapi siang itu mereka pulang secara simbolik: menyatukan diri dalam satu naskah sejarah.




Organisasi sebagai Pilar Pelestarian

Selain pelestarian tarombo, acara ini juga menandai pelantikan pengurus punguan (perkumpulan) yang akan memegang estafet pelestarian budaya hingga tiga tahun ke depan. Di balik suasana kekeluargaan, pelantikan ini memiliki makna strategis. Ia menandai dimulainya kerja kolektif lintas generasi untuk menjaga warisan budaya di tengah gempuran zaman.

Pengurus inti terdiri dari tokoh-tokoh lintas latar: insinyur, profesional, hingga tokoh adat. Ada Pongat dan Magdon Simanjuntak sebagai penasehat, Johny Rio Breznev sebagai Ketua Umum, serta Christian dan Renti Simanjuntak sebagai Sekretaris dan Bendahara.

"Organisasi bukan tujuan akhir, tapi jalan untuk merawat ingatan kolektif," ujar Johny. "Tanpa organisasi, anak-cucu kita bisa kehilangan arah."

Pernyataan ini muncul sebagai tanggapan atas sikap Pomparan Ompu Siantar yang menyatakan tidak memiliki organisasi resmi dan tidak ingin diatasnamakan dalam tarombo kolektif. Meski begitu, tidak ada nada konflik dalam jawabannya, hanya seruan akan pentingnya koordinasi demi warisan budaya yang lestari.


Jejak yang Tak Bisa Dihapus

Dalam satu bagian acara, perwakilan dari keturunan Ompu Parhudorom, Surung Dihuta, dan Sohatahian menandatangani dokumen pelestarian tarombo. "Sejarah tak bisa disangkal. Ia mungkin ditunda, tapi tidak bisa dihapus," kata Johny dalam pidato yang menggetarkan suasana.

Ia menekankan bahwa pelestarian tarombo adalah bentuk kasih sejati, bukan dalam kata-kata, tapi dalam keberanian menjaga kejujuran sejarah. “Orang yang mencoba menghapus sejarah akan kehilangan arah, kehilangan kehormatan,” ujarnya, mengutip ungkapan Batak: si tiop tarombona be hita—mereka yang membelakangi tarombo-nya sendiri.


Antara Identitas dan Kesadaran Budaya

Lebih dari sekadar acara keluarga, Marsada Tahi Tarombo ini merupakan refleksi tentang bagaimana komunitas Batak di perantauan terus mencari cara untuk menyulam identitas dalam kehidupan modern. Di Bogor, ratusan kilometer dari tanah leluhur di Tapanuli, mereka merajut ulang benang merah sejarah.

Generasi muda pun turut serta. Beberapa di antaranya mungkin tak fasih lagi berbahasa Batak, tapi mereka mendengarkan, mencatat, dan menyaksikan. Di sinilah tarombo hidup bukan sebagai benda mati, tetapi sebagai ruang dialog antar generasi.

Eliston Simanjuntak, tokoh muda di bidang sosial dalam punguan baru ini, berharap kegiatan seperti ini menjadi pemicu kesadaran. “Kita bisa modern tanpa kehilangan akar,” ujarnya singkat, namun penuh makna.




Menyusun Masa Depan Lewat Masa Lalu

Dari Bogor, satu fragmen kecil dari ribuan kisah keluarga Batak di perantauan ditulis ulang. Tak ada kemewahan, tak ada panggung besar. Hanya meja makan, lembaran dokumen, dan nama-nama yang kembali dipanggil dari masa lalu.

Namun dari situ pula lahir kekuatan: bahwa sejarah, jika dirawat, akan menjadi pondasi yang kokoh untuk masa depan. Dan tarombo, dalam segala kesederhanaannya, menjadi saksi bahwa darah dan nama leluhur tetap hidup—tak lekang oleh waktu, tak hilang ditelan jarak.



Laporan  Ida Farida | Editor: Mahar Prastowo | Edisi Budaya LUGAS