Saya tidak menyangka bahwa sebuah ruang kecil terbuka di tengah kepadatan Jakarta bisa menyimpan harapan yang begitu luas. Pagi itu, Senin, 5 Mei 2025, matahari belum terlalu tinggi, tapi sudah banyak orang berdiri di bawahnya. Mereka tidak sedang berdemo. Mereka justru bersiap menyambut lomba. Lomba yang hanya diikuti dua tempat dari satu kecamatan. Dan salah satunya: RPTRA Kebon Pala Berseri.

Itu ruang publik yang dulu saya pikir hanya jadi tempat main anak-anak. Ternyata hari itu jadi ruang diplomasi sosial, arena gotong royong, dan ajang perbaikan cepat-cepat. Sebab pada hari Jumat nanti—bukan Rabu seperti sebelumnya—penilaian Gebyar RPTRA tingkat kota akan dilakukan. Gebyar itu kata yang cantik, meski sering berarti: kerja keras mendadak.

Datanglah Maya Alatas, Ketua TP PKK Kecamatan Makasar. Bersama timnya, ia meninjau seluruh sudut RPTRA. Tidak ada kursi goyang. Tidak ada sambutan panjang. Yang ada: mencatat, menunjuk, memberi masukan. Bahwa cat dinding harus diperbarui. Bahwa tanaman perlu ditata ulang. Bahwa papan informasi kurang hidup.

“Saya ingin memastikan semuanya siap. Karena ini bukan cuma lomba, ini juga wajah kelurahan,” kata Bu Maya, tegas namun bersahabat.

Saya lihat Lurah Kebon Pala, Faisal Rizal, ikut berkeliling. Ia bukan tipe lurah yang banyak bicara. Tapi ketika ia berbicara, saya tahu ia sedang berpikir dua langkah ke depan.

“Kita sedang evaluasi menyeluruh. Kalau ada kekurangan, kita benahi. Tapi tidak semua bisa disulap. Jadi kami minta bantuan lintas dinas juga,” ujarnya.

Di belakangnya ada FKDM, para PJLP, dan para ibu-ibu PKK yang tampak seperti regu khusus—bergerak cepat, membawa ember cat, sekop kecil, atau alat semprot.

Saya perhatikan satu hal. Lomba ini sebenarnya adalah lomba para perempuan, setidaknya didominasi perempuan. Mereka yang menghidupkan RPTRA dengan kegiatan posyandu, pelatihan keterampilan, taman bacaan, sampai bank sampah.  

Mereka mengerti bahwa ruang publik yang baik adalah ruang yang digunakan, bukan hanya diperlihatkan.


Lalu saya bertanya-tanya:

Apakah Gebyar RPTRA ini benar-benar menjadi pemantik perubahan? Atau hanya akan jadi selebrasi seremonial?

Yang saya tahu satu hal: semangat di pagi itu bukanlah semangat pura-pura. Bukan demi kamera. Saya lihat sendiri bagaimana seorang petugas kebersihan rela memungut daun satu per satu tanpa diminta. Saya dengar sendiri bagaimana seorang kader PKK mengusulkan pembenahan taman agar bisa ditanami sayur organik.

Dan saya tahu, ini bukan sekadar soal menang lomba.

Ini tentang menghidupkan ruang yang pernah dianggap remeh. Tentang perempuan yang bergerak tanpa panggung. Tentang warga kota yang ingin menyusun hidup lebih rapi—meski dari sudut kecil bernama RPTRA Kebon Pala Berseri.

Saya percaya, jika perubahan besar itu mungkin terjadi, ia akan datang bukan dari ruang rapat besar, tapi dari tempat semacam ini.

Dari RPTRA yang disiram matahari, sapu lidi, serta semangat pengelola dan warga yang tidak pernah masuk berita utama.





Mahar Prastowo
Penulis adalah jurnalis, pegiat komunitas warga, dan pengamat sosial perkotaan.


 

Baca juga: