
LUGAS | Jambi - Sabtu malam itu tidak biasa. Langit Kota Jambi menggantungkan awan tenang, dan halaman Pondok Pesantren Tawakal berubah menjadi bioskop terbuka. Ada layar, ada suara, ada tawa—dan ada bakso.
Bukan, ini bukan acara besar. Tak ada panggung megah. Tapi bagi ratusan santri, inilah malam yang ditunggu: libur Idul Adha yang tidak diisi tidur panjang atau pulang kampung, melainkan menonton kisah Nabi dan semangkuk bakso hangat.
Film diputar usai salat Isya. Kisahnya tentang perjuangan seorang Nabi. Tontonan ini dipilih bukan sekadar mengisi waktu kosong, tapi juga menanamkan pelajaran dalam bentuk paling sederhana—melalui layar dan cahaya.
Yang menarik justru suasananya.
Selembar terpal biru terbentang di halaman. Ratusan santri duduk bersila di atasnya. Tampak para santri laki-laki duduk berjejer rapi, memegang mangkuk warna-warni, sebagian besar berwarna merah jambu. Tak ada yang memegang ponsel. Tak ada yang menyendiri. Wajah mereka penuh tawa, riuh dalam kebersamaan.
Di latar belakang, pamong dan santri lainnya berdiri atau duduk, memperhatikan layar. Tidak ada sekat—semua menyatu. Seperti keluarga besar yang tak sedang menjalankan agenda formal, tapi menikmati waktu senggang yang bermakna.
Lalu datanglah bakso.
Satu panci besar. Sendok-sendok dibagikan. Di situlah bagian paling jujur dari malam itu muncul: keakraban yang tidak dibuat-buat. Mereka yang biasanya hanya saling sapa di kelas, kini menyuap bakso dari mangkuk yang sama. Mereka yang pemalu, malam itu tertawa keras.
“Filmnya keren. Bikin semangat. Tapi yang paling enak ya makan bareng,” kata seorang siswi (santriwati). Senyumnya lebar, matanya masih memerah karena terlalu banyak tertawa.
Kegiatan berakhir pukul 21.45. Tapi hangatnya mungkin akan tinggal lebih lama. Sebab kebahagiaan, seperti juga kenangan masa santri, tidak selalu datang dari hal-hal besar.
Kadang cukup semangkuk bakso. Dan film tentang Nabi.
Laporan: Romli | Editor: Mahar Prastowo
Tidak ada komentar