LUGASSorong, Papua Barat Daya - Pulau Doom di Distrik Sorong Kepulauan, Kota Sorong, menjadi saksi bisu masa pendudukan tentara Jepang di Irian Barat selama Perang Dunia II. Di balik hijaunya pepohonan dan sepinya debur ombak yang menyapu garis pantai, tersimpan sebuah peninggalan bersejarah yang kini kian dilupakan: Goa Jepang.

Tersembunyi di bawah bukit kecil di belakang Gereja GKI Pulau Doom, gua itu hanya dapat diakses setelah perjalanan sekitar 25 menit dari pusat Kota Sorong menggunakan perahu motor (taksi laut), kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki sejauh 10 menit. Di situlah, goa peninggalan masa pendudukan Jepang tahun 1942–1944 terletak sunyi—dulu tempat persembunyian dan pertahanan tentara Jepang, kini nyaris tak terjamah.


Jejak Kakek, Penjaga Warisan

Goa berdiameter pintu masuk sekitar 70 sentimeter dan memiliki lorong dalam sepanjang 15 meter itu pertama kali ditemukan oleh almarhum Paulus Yembise, leluhur dari garis ibu Ema Imbir (31), generasi ketiga penjaga goa. “Dulu Tete (kakek) saya menemukannya, kemudian diwariskan ke Nenek, lalu ke saya,” tutur Ema dengan suara lirih, Sabtu (7/6/2025), saat ditemui LUGAS di lokasi.

Sejak kecil, Ema tumbuh di sekitar goa itu. Ia meyakini, sejarah harus dirawat sebagaimana warisan, bukan semata benda mati. “Sebagian goa lain di Pulau Doom sudah tertimbun atau menjadi pondasi rumah warga. Yang satu ini masih asli. Kami jaga dengan sungguh-sungguh,” katanya.




Antara Turis dan Sepinya Jejak

Pulau Doom memang pernah mengalami masa keemasan sebagai lokasi wisata sejarah alternatif selain Raja Ampat. Pada 2024, jumlah kunjungan wisatawan—termasuk mancanegara—meningkat pesat. Namun, tren itu tidak bertahan. Tahun ini, seiring minimnya promosi dan terbatasnya fasilitas, jumlah pengunjung merosot drastis.

“Kemarin ada tiga turis panah (istilah untuk wisatawan asing yang tak lancar berbahasa lokal), mereka pakai Google Translate. Salah satunya orang Jepang, sempat berdoa dan memberi hormat ke arah bendera Jepang berlambang matahari,” kenang Ema, yang sempat menempuh studi D3 di Solo. Ia menambahkan, para turis itu menemukan informasi goa lewat Google Maps saat mereka mengunjungi Raja Ampat.


Warisan Masa Transisi

Goa Jepang bukan sekadar ruang kosong berisi sejarah bisu. Ia adalah bagian dari babak transisi kekuasaan dari Belanda ke Jepang di Tanah Papua. Selama tiga tahun, pasukan Kekaisaran Jepang menggunakan goa-goa di Pulau Doom sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi serangan Sekutu.

Kini, ketika bangunan penjajah telah runtuh, dan buku sejarah hanya menuliskan sekelumit kisah tentang Irian Barat, tinggal goa-goa seperti inilah yang menyimpan memori kolektif tentang masa yang getir itu. Sayangnya, banyak gua lain telah hilang ditelan tanah, dibangun rumah, atau hancur karena ulah manusia.

“Pernah lampu-lampu penerangan yang dipasang pemerintah dicabut orang. Tapi saya tetap berterima kasih karena akses jalan sudah dibangun,” kata Ema sembari menyesalkan minimnya kesadaran kolektif atas warisan sejarah.


Harapan dari Generasi Pewaris

Kini Ema mengandalkan jaringan kecil yang ia bangun: berupaya menjalin kerja sama dengan sekolah-sekolah dan universitas di Sorong agar menjadikan Goa Jepang sebagai lokasi belajar lapangan. Ia berharap situs itu bisa menjadi laboratorium sejarah dan kesadaran kebangsaan, bukan sekadar objek foto.

“Tete moyang saya sudah menjaganya puluhan tahun. Sekarang tanggung jawab itu ada pada saya,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca. Di matanya, Goa Jepang bukan sekadar lubang di perut bukit. Ia adalah saksi zaman, tempat ingatan akan perang, pendudukan, dan transisi kekuasaan di Irian Barat ditanamkan pada bebatuan dan tanah.

Sayangnya, jika tak ada upaya serius dari pemerintah, akademisi, dan masyarakat, gua ini bisa berubah jadi dongeng semata—diingat hanya oleh segelintir orang, lalu lenyap dalam sunyi Pulau Doom.


Catatan Redaksi:
Goa Jepang di Pulau Doom adalah satu dari sedikit peninggalan Perang Dunia II di Papua Barat Daya yang masih bisa diakses. Menjaga situs sejarah semacam ini bukan hanya tentang merawat bangunan, tetapi merawat kesadaran akan siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita akan melangkah.




Laporan Sopian Hadi Santoso dan Lina Komsatin | Editor: Mahar Prastowo