Catatan Idul Adha dari Tanah Malamoi

LUGAS | SORONG RAYA, Papua Barat Daya – Pagi itu, langit di atas Sorong Raya cerah secerah hati ratusan jamaah yang datang memadati Masjid Miftakul Janah di Jalan Pendidikan. Hari Jumat, 6 Juni 2025, menjadi hari yang bukan sembarangan bagi umat Islam. Hari itu bukan hanya Hari Raya Idul Adha, tapi juga Hari Jumat. Dua hari raya dalam satu.

Dari corong masjid yang sudah dipakai sejak era transmigrasi gelombang kedua di Papua, suara takbir menggema, menyusuri gang-gang rumah warga, dan mengalir sampai ke Teluk Doreri yang sunyi.

Shalat ied dimulai. Dua rakaat yang khidmat dipimpin oleh Imam Hadi Pranoto. Usai salam, naiklah ke mimbar Ustad Muslim. Ia menyampaikan khutbah tentang ketaatan Nabi Ibrahim, ketegaran Nabi Ismail, dan kasih sayang Allah yang menguji namun tak pernah zalim.

Khutbah belum selesai menjadi kenangan, ketika seorang tokoh lokal, Muhammad Sediq, S.Sos, maju membacakan naskah sambutannya yang berjudul "Kurban dan Penerapan Karakter Luhur."

"Sa pu pikir ini hari yang langka sekali. Dua momen besar datang bareng. Hari Jumat dan Hari Kurban," kata Sediq dengan gaya khas Sorong, menyisipkan nada bahasa Melayu Papua yang bersahaja namun mengena.

Dua Hari Raya, Satu Spirit Pengorbanan

Dalam sambutannya, Sediq merujuk pada hadist dari Abu Dawud No. 1070. Bahwa pernah Nabi Muhammad SAW merayakan Idul Adha yang jatuh di hari Jumat. Zaid bin Arqam, sahabat yang mendampingi Nabi, menjelaskan bahwa Rasulullah tetap melaksanakan shalat Ied dan memberi keringanan bagi yang ingin meninggalkan Jumat karena kesibukan kurban.

"Kalau torang bisa tetap Jumatan, bagus. Tapi kalau sibuk urus sapi kurban, boleh ganti duhur saja. Itu juga bagian dari keringanan agama," ujar Sediq saat diwawancarai Tabloid LUGAS usai pelaksanaan salat Ied.

Semangat Gotong Royong, Warisan Leluhur yang Terjaga

Usai khutbah dan sambutan, jamaah tidak langsung pulang. Mereka tinggal. Ada yang menggulung lengan baju, ada yang membawa pisau dari rumah, ada yang siap menjadi juru potong. Hari itu, Masjid Miftakul Janah menyembelih lebih dari 10 ekor sapi kurban.

Panas bukan soal. Lumpur bukan rintangan. Bau amis bukan masalah. Karena hari itu adalah hari besar. Hari kebersamaan. Hari ketika nilai luhur lebih penting dari penampilan.

"Di sini torang bantu satu sama lain. Yang muda tarik sapi, yang tua bagi daging. Perempuan di dapur siap masak buat makan bersama," ujar seorang ibu paruh baya yang menolak disebut namanya.

Mereka tak sekadar memotong sapi. Mereka sedang memotong ego. Menyembelih keserakahan. Membagi-bagi kasih yang dikemas dalam plastik hitam berisi daging merah segar.

Waktu Jumat yang Pendek, Tapi Berkahnya Panjang

Di Distrik Sorong Timur, tepatnya di Masjid Miftakul Janah Km 12, suasana serupa terasa pada hari Sabtu, 7 Juni. Aminuddin, panitia kurban di sana, punya alasan sendiri kenapa pemotongan dilakukan sehari setelah Ied.

"Kitorang rasa hari Jumat itu pendek. Banyak kerja, waktunya sedikit. Jadi torang pilih hari Sabtu supaya semua bisa bantu. Tidak buru-buru. Semua senang," ujar Aminuddin sambil tertawa kecil.

Dari Kurban Menuju Karakter Bangsa

Hari raya kurban memang bukan sekadar tentang daging. Bukan tentang jumlah sapi. Tapi tentang niat dan karakter. Seperti kata pepatah tua di Tanah Malamoi:
"Man su tawer, su tawer... asal hati bersih, Tuhan kase berkat."
(Siapapun bisa memberi, asal dari hati, Tuhan akan balas.)

Dan itulah yang terjadi di Papua Barat Daya. Kurban menjadi momentum untuk membentuk karakter luhur: ikhlas, jujur, saling tolong, dan tawadhu.

Ketika bangsa ini tengah sibuk mencari identitas di tengah digitalisasi dan kekacauan nilai, barangkali, pelajaran tentang karakter justru datang dari masjid kecil di Sorong Timur, dari suara kambing yang tak lagi mengembik, dan dari tangan-tangan warga yang tak takut darah tapi takut pada Tuhan.

"Hari raya bukan soal baju baru. Tapi soal hati yang dibarui."

Papua mengajarkan itu hari ini.
Dan seharusnya, kita belajar dari timur. Karena fajar juga datangnya dari sana.



Laporan Sopian Hadi Santoso | Editor: Mahar Prastowo