Oleh: Mahar Prastowo
LUGAS | Bitung, Sulawesi Utara – Di ruang dingin Pengadilan Negeri/Perikanan Bitung, seorang perempuan berusia 57 tahun duduk sebagai terdakwa. Ia bukan koruptor, bukan mafia tanah, bukan pula pelaku kekerasan. Ia mantan lurah. Namanya Lintje Sanger. Duduknya di kursi pesakitan hari ini bukan semata perkara pribadi, tetapi menjelma simbol dari problem agraria yang kronis di negeri ini—problem lama yang tak kunjung selesai, bahkan saat hukum sudah bicara.
Perkara ini bermula dari sengketa tanah eks HGU PT Kinaleosan Nomor 1/Girian Weru. Mahkamah Agung telah menjatuhkan putusan final pada tahun 2010 (Putusan Nomor 101/PK/TUN/2010). Isinya jelas: 14 sertifikat di atas lahan tersebut dinyatakan cacat hukum dan dibatalkan. Tapi realitas sosial dan administrasi justru menertawakan putusan itu. Salah satu sertifikat yang sudah dibatalkan—HGB No. 2/Girian Indah atas nama Yayasan DD—masih digunakan sebagai alat bukti memidanakan Lintje Sanger dalam perkara dugaan pemalsuan dokumen.
Saya bukan pembela terdakwa. Tapi sebagai warga yang percaya pada sistem hukum, saya mempertanyakan ini: bagaimana mungkin seseorang didakwa memalsukan dokumen, jika dokumen yang dimaksud sendiri telah dinyatakan cacat oleh pengadilan tertinggi negeri ini? Apakah kita masih negara hukum, atau telah bertransformasi menjadi negara berkas—di mana siapa yang memegang surat, dia yang menang?
Problem agraria di Indonesia selalu berakar pada tiga hal: tumpang tindih administrasi, lemahnya penegakan hukum, dan relasi kuasa yang timpang. Di tingkat tapak, seperti di Bitung ini, yang sering jadi korban adalah rakyat kecil atau pejabat rendahan yang tak cukup kuat secara politik. Dan tak jarang pula, yang jadi korban adalah kebenaran itu sendiri.
Lintje Sanger mungkin bukan pahlawan. Tapi dalam pusaran ini, ia adalah simbol dari orang-orang yang terjebak dalam sistem birokrasi pertanahan yang kabur. Ia menjabat sebagai Lurah saat wilayahnya masih dalam proses transisi pemekaran. Status tanah yang tumpang tindih, perubahan nomenklatur kelurahan, hingga tidak sinkronnya data BPN dan Pemda menjadi bom waktu yang hari ini meledak.
Lebih menyakitkan lagi, putusan Mahkamah Agung yang seharusnya menjadi pedoman penyelesaian malah tak digubris. Ini preseden buruk. Negara bisa kehilangan kepercayaan publik bila putusan pengadilannya dianggap bisa dinegosiasikan oleh kekuasaan administratif di bawah.
Ada adagium terkenal dalam filsafat hukum: Fiat justitia ruat caelum – Tegakkan keadilan walau langit runtuh. Tapi di Indonesia, seolah ada versi lain yang lebih realis: Tunda keadilan hingga semua langit sepakat. Dan itulah yang terjadi di banyak kasus tanah. Putusan sudah ada, tapi pelaksanaannya bisa tertahan bertahun-tahun karena kepentingan ekonomi-politik yang menyertainya.
Saya ingin mengingatkan bahwa pengadilan bukan hanya tempat menghitung pasal-pasal. Ia adalah ruang untuk menyaring kebenaran dan nurani. Hakim bukan sekadar penafsir UU, melainkan juga penjaga keadilan substantif. Maka jika dalam perkara ini, bukti-bukti dan putusan hukum sebelumnya jelas menunjukkan bahwa dokumen-dokumen yang jadi dasar tuduhan sudah dibatalkan, maka yang salah bukan pada Lintje Sanger. Yang salah adalah sistem yang mengizinkan dokumen ilegal tetap berlaku.
Keadilan, bila benar adalah sifat Tuhan, maka hari ini di Bitung kita menanti keputusan dari para wakil-Nya. Bukan untuk membebaskan siapa pun tanpa dasar, melainkan untuk menyelamatkan akal sehat hukum dari keruntuhan akibat keengganan menegakkan putusan tertinggi.
Jika ini gagal ditegakkan, jangan salahkan masyarakat bila suatu hari tak lagi percaya pada jalur hukum.
(mp)
Tidak ada komentar