LUGAS | Jakarta, 26 Juni 2025 - Gedung YLBHI di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, malam itu diselimuti suasana syahdu sekaligus muram. Pukul hampir setengah tujuh, deretan kursi mulai dipenuhi mereka yang datang bukan sekadar untuk memperingati wafatnya Hari Wibowo, melainkan untuk mengenang sebuah nama yang sejak 1993 masih menggantung dalam sejarah bangsa: Marsinah.

Peringatan 40 hari wafatnya Hari Wibowo (Harwib), aktivis HAM dan Ketua Tim Pencari Fakta kasus Marsinah, digelar Kamis malam, 26 Juni 2025, berbarengan dengan penyerahan arsip penyelidikan kasus Marsinah dari keluarga Harwib kepada YLBHI. Arsip itu adalah warisan terakhir Hari Wibowo, yang disebut-sebut sebagai kunci pembuka ulang luka kolektif bangsa: pembunuhan buruh perempuan yang tak pernah tuntas secara hukum.


Malam yang Dibuka dengan Musik, Ditutup dengan Sejarah

Sebelum puisi dibacakan dan arsip diserahkan, seniman Jati Andito membuka malam itu dengan petikan musik yang mengantar refleksi. Di antara 70 hadirin tampak nama-nama yang dulu dikenal lantang: M. Isnur (Ketua YLBHI), Neng Dara Affiah, Rocky Gerung, Nining Elitos, Marsini (saudari Marsinah), serta Dian Septi dari marsinah.id.

“Mas Hari bukan hanya pencari fakta, dia penjaga ingatan,” ujar Isnur dalam refleksinya. Dalam pidatonya, ia memaparkan ulang kronologi berdarah Mei 1993, ketika Marsinah terakhir kali terlihat hidup seusai mendatangi kantor Kodim Sidoarjo.

“Marsinah menulis surat protes sebelum akhirnya hilang. Ia ditemukan 14 hari kemudian, dalam keadaan mengenaskan. Tapi penyelidikan penuh rekayasa. Militer disebut-sebut, tapi tidak pernah diproses. Kapten Kusaeri dan pejabat Kodim terlibat, namun dilindungi narasi negara,” kata Isnur, membuka kembali temuan Tim Pencari Fakta yang diketuai Hari Wibowo.




Luka yang Belum Sembuh

Di antara suara-suara reflektif, hadir suara lirih dari Niken, istri Hari Wibowo.

“Negara menggembar-gemborkan gelar pahlawan untuk Marsinah, tapi lupa siapa yang membunuhnya. Arsip ini diserahkan bukan untuk glorifikasi, tapi untuk membuka luka yang belum disembuhkan.”

Marsini, saudara Marsinah, tak bisa menyembunyikan kesedihannya.

“Saya ingin tahu siapa pembunuh adik saya. Meski ia sudah mati, saya ingin tahu. Mengapa harus Marsinah yang mati, kenapa bukan saya?”

Suaranya menyayat. Air matanya menetes saat berbicara tentang malam tahun 1993 itu, saat telepon rumah berbunyi, dan kabar buruk datang.


Tak Ada Mantan Aktivis

Di antara pidato politik dan nostalgia gerakan, Rocky Gerung menautkan peringatan malam itu dengan keadaan demokrasi hari ini.

“Ada dua kata yang tepat: luka kolektif dan takut pada harapan. Kita belum demokrasi. Kita hanya pindah dari otoritarianisme, tapi belum masuk demokrasi.”

Ia menyebut ruang-ruang gerakan kini mulai direduksi menjadi perebutan mineral dan kapital.

“Tak ada mantan aktivis. Yang ada hanya orang yang berhenti berpikir.”




Marsinah, Perempuan yang Dilupakan oleh Negara

Nining Elitos, tokoh buruh, menyebut Marsinah sebagai simbol perempuan tertindas yang dilenyapkan oleh kekuasaan. “Dia hanya buruh yang minta THR. Tapi negara menganggapnya ancaman.”

Sementara Dian Septi, dengan nada berapi, memperingatkan publik agar tak melupakan fakta sejarah di tengah glorifikasi.

“Marsinah dibunuh. Bukan mati karena cinta tanah air. Dibunuh karena melawan. Tubuhnya dihabisi sebagai pesan teror.”

Ia memperingatkan bahwa ingatan kolektif bisa dibajak oleh narasi penguasa.


Digitalisasi Sebagai Perlawanan

Tepat pukul 21.07 WIB, berkas asli penyelidikan diserahkan oleh Niken dan Marsini kepada Ketua YLBHI, M. Isnur. Arsip itu, sebagaimana wasiat almarhum Hari Wibowo, kini berada dalam penyimpanan aman di YLBHI.

Catatan penutup malam itu: dokumen akan didigitalisasi dan dipublikasikan secara luas, agar publik tahu dan tak melupakan.


Catatan Redaksi

Upaya pengabadian arsip ini bisa menjadi amunisi bagi generasi muda untuk membaca sejarah secara utuh—bukan sejarah yang digubah demi kenyamanan rezim. Ketika aktivis wafat, tak seharusnya perjuangannya turut dikuburkan. Malam peringatan ini adalah pengingat: bahwa perjuangan tak mati, ia hanya berpindah bentuk.

"Marsinah dibunuh negara. Keadilan belum ditegakkan. Tapi ingatan, tidak bisa dibungkam." —Hari Wibowo (alm)


Laporan: Dani Prasetya
Editor: Mahar Prastowo