LUGAS | Jakarta, Kompas — Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama sejumlah lembaga masyarakat sipil menegaskan penolakan terhadap rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto.
Mereka menilai rencana tersebut menodai semangat reformasi dan mengabaikan tanggung jawab negara terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.

Konferensi pers digelar di Kantor KontraS, Jalan Kramat II, Senen, Jakarta Pusat, Senin (3/11/2025) pukul 13.45–15.00 WIB, dihadiri sekitar 15 peserta dari berbagai lembaga.
Pimpinan KontraS, Andre Yunus, memimpin jalannya pernyataan bersama bertema “Penolakan Gelar Pahlawan Soeharto: Dosa Impunitas dan Kejahatan Hak Asasi Manusia.”





9 Kasus Pelanggaran HAM Berat di Era Soeharto

Dalam paparannya, Andre Yunus mengingatkan bahwa dokumen Komnas HAM telah mengidentifikasi sembilan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sepanjang masa pemerintahan Orde Baru (1966–1998), antara lain:

1. Peristiwa 1965–1966
2. Penembakan misterius (1982–1985)
3. Peristiwa Tanjung Priok (1984)
4. Talangsari, Lampung (1989)
5. Penghilangan orang secara paksa (1997–1998)
6. Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II (1998–1999)
7. Kerusuhan Mei 1998
8. Pembunuhan dukun santet (1998–1999)
9. Penembakan warga dalam proyek Waduk Nipah, Madura

Selain itu, kata Andre, terdapat sederet peristiwa represif lain seperti pembunuhan aktivis buruh Marsinah, pembunuhan jurnalis Udin, penyerangan kantor PDI pada 27 Juli 1996, hingga pemberedelan media massa dan penggusuran warga demi pembangunan Taman Mini Indonesia Indah.
“Gelar pahlawan adalah penghargaan tertinggi bagi mereka yang menegakkan nilai kemanusiaan dan keadilan, bukan yang melanggarnya,” ujar Andre.



Suara Para Korban

Konferensi pers turut menghadirkan para penyintas dari berbagai tragedi.
Uchikowati, korban peristiwa 1965–1966, mengisahkan bagaimana stigma terhadap keluarga korban masih diwariskan hingga generasi ketiga.





“Kami, para perempuan, tidak bisa melupakan penderitaan itu. Anak-anak kami dulu dilarang menjadi guru, wartawan, bahkan pegawai negeri,” ujarnya.

Saeful, penyintas Peristiwa Tanjung Priok 1984, menilai rencana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto sebagai bentuk “pengkhianatan terhadap keadilan”.

“Kami korban kekerasan TNI di Tanjung Priok menolak keras. Pemerintah seharusnya menuntaskan pelanggaran HAM, bukan memuliakan pelakunya,” katanya.




Sementara itu, Bejo Untung dari Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 (YPKP 65) menunjukkan dokumen CIA yang telah dideklasifikasi oleh Pemerintah Amerika Serikat, yang mengindikasikan adanya dukungan logistik terhadap operasi militer pada 1965.
Menurutnya, kekuasaan Soeharto “berlumuran darah” dan mengakibatkan jutaan korban.

“Kami menemukan lebih dari 360 kuburan massal di berbagai daerah. Ini bukan angka fiktif,” tegasnya.



Dimensi Struktural dan Politik

Beberapa organisasi lain menyoroti dimensi struktural dari kekuasaan Orde Baru.
Kania Mamonto dari Asia Justice and Rights (AJAR) menyebut bahwa pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto akan “melanggengkan budaya impunitas”.

“Di Timor Leste, Aceh, dan Papua, kekerasan militer dilakukan atas nama stabilitas nasional. Memberi gelar pahlawan berarti mengabadikan budaya impunitas,” ujarnya.

Merisa dari Setara Institute menyoroti aspek korupsi dan nepotisme yang tak pernah dipertanggungjawabkan. Ia mengingatkan bahwa Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 140/2005 menyatakan Soeharto dan yayasannya melakukan perbuatan melawan hukum dengan kerugian negara sekitar Rp 4,4 triliun (kurs 2005).

“Soeharto adalah simbol politik tamak yang masih berjejak hingga kini,” ujarnya.




Dari Imparsial, Ardimanto menilai pengusulan gelar ini sebagai bentuk politik balas budi.

“Kalau rekonsiliasi nasional tujuannya, mestinya pemerintah menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM, bukan memberi gelar kehormatan kepada pihak yang diduga bertanggung jawab,” katanya.

Chairil Halim dari Amnesty International Indonesia menyebut langkah itu “pengkhianatan terhadap mandat reformasi”.

“Menghidupkan Soeharto sama saja mengakhiri reformasi,” katanya tegas.



Konteks dan Data Politik

Sejak reformasi 1998, Soeharto telah lima kali diajukan sebagai calon penerima gelar Pahlawan Nasional, namun seluruhnya belum disetujui.
Usulan terakhir muncul kembali menjelang peringatan Hari Pahlawan 10 November 2025, seiring pernyataan juru bicara presiden bahwa “mantan presiden layak mendapat penghargaan tertinggi”.

Namun, menurut data Komnas HAM dan berbagai studi sejarah, setidaknya lebih dari 500 ribu orang tewas atau hilang pada peristiwa 1965–1966, 3.000 korban dalam tragedi Tanjung Priok 1984, dan lebih dari 1.000 korban sipil di Talangsari 1989.
Sebagian besar kasus tersebut hingga kini belum tersentuh proses hukum yang tuntas.



Menolak Lupa

Konferensi pers yang berlangsung sekitar satu jam itu diakhiri dengan pernyataan bersama dari seluruh peserta, menyerukan agar pemerintah membatalkan rencana pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto.
Mereka menegaskan bahwa langkah tersebut bukan sekadar soal simbol, melainkan pertaruhan moral bangsa terhadap sejarah pelanggaran HAM.

“Memberi gelar pahlawan kepada Soeharto berarti menghapus ingatan kolektif bangsa terhadap kejahatan kemanusiaan yang belum tuntas,” ujar Andre Yunus menutup konferensi.

Acara berakhir pukul 15.00 WIB dalam suasana tertib dan kondusif.


Laporan: Dani Prasetya | Editor: Mahar Prastowo