LUGAS | Mitra, Sulawesi Utara - Suasana di aula GMIM Silo Watuliney siang itu terasa berbeda. Warga dari berbagai latar belakang duduk berdampingan, bersama tokoh agama, pemerintah, dan aparat keamanan. Mereka datang dengan satu tujuan: mencari jalan damai setelah perkelahian antarwarga dua desa mengguncang Minahasa Tenggara pada 30 November 2025.

Wakil Gubernur Sulut, J. Victor Mailangkay, membuka dialog dengan ajakan sederhana namun kuat: menghadapi persoalan dengan kasih. Bagi masyarakat Belang, pesan itu menjadi pengingat bahwa persatuan jauh lebih penting daripada selisih paham sesaat.

Kapolda Sulut, Irjen Pol Roycke Harry Langie, kemudian menjelaskan makna rekonsiliasi dan reintegrasi. Ia mengajak masyarakat tidak terjebak oleh informasi keliru yang bisa memecah belah. “Kita perbaiki apa yang salah, dan kita satukan kembali kekuatan yang retak,” tuturnya.

Tokoh-tokoh agama serta masyarakat juga menyampaikan suara mereka—tentang bahaya provokasi, perlunya ketegasan hukum, serta keresahan terhadap miras, lem, obat keras, dan senjata tajam yang sering memicu konflik.

Namun pernyataan paling tegas datang dari Kapolda: kejadian 30 November itu adalah kriminal murni, tanpa unsur SARA. Pesan itu diharapkan menenangkan warga, sekaligus menutup ruang bagi isu-isu liar.

Di akhir dialog, masyarakat dan Forkopimda sepakat memperkuat keamanan bersama. Patroli “PANTERA” disiapkan, dan pengawasan terhadap miras serta bahan berbahaya akan diperketat.

Dalam pertemuan itu, harapan akan damai kembali tumbuh—bahwa perbedaan bukan alasan untuk terpecah, melainkan alasan untuk bersatu lebih kuat.